Friday, February 3, 2017

Sebuah Doa Penghiburan bagi Pemenang yang Dipaksa Kalah [Untuk Kendeng]



Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.” Nyai Ontosoroh, Bumi Manusia.

Lima tahun lalu saya pertama kali berkenalan dengan Pram. Yang tadinya hanya tugas mata kuliah Hukum Antar Tata Hukum kemudian meresap ke dalam hati. Cara yang unik dari dosen saya membentuk kami. Roman, yang bercerita dan bicara pada rasa; bergandengan dengan buku teks, yang memberikan kami pengetahuan: tentang hukum, tentang logika dan analisis, tentang apa yang dikatakan di undang-undang dan diputuskan di pengadilan. Seakan-akan saya bisa mendengar dosen saya berpesan, “Di balik setiap kasus, ada cerita. Bersama setiap norma, ada rasa – ialah keadilan itu.”

Kemarin saya merasa sedikit patah hati. Alkisah petani pegunungan di suatu tempat bernama Kendeng – melawan. Penguasa menginginkan tanah mereka – pegunungan karst Kendeng yang telah turun temurun didiami mereka – menjadi pabrik semen. Mereka melawan; sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya. Seperti Nyai Ontosoroh yang menghadap ke muka pengadilan, mereka lalui semua proses itu. Mereka ajukan gugatan ke pengadilan. Mereka berdialog, mereka berjalan kaki ratusan kilo, mereka lakukan aksi damai mengecor kaki di depan Istana Negara, mereka berkemah berhari-hari lagi di kantor Gubernur, mereka bergeming ketika tenda mereka dirusak paksa, dan mereka berdoa. Ketika akhirnya Mahkamah Agung memenangkan gugatan TUN mereka dalam Peninjauan Kembali, beberapa dari mereka sedang menjalani proses hukum pidana – seperti biasa, dalam konflik, korban yang melawan akan dikriminalisasi.

Terakhir hati saya terpaut perjuangan seajeg dan setulus ini adalah ketika saya membaca sejarah konflik warga Porsea dengan PT Indorayon Inti Utama pada era 80an akhir hingga 90an awal. Akhir cerita PT IIU pernah indah – setelah perjuangan panjang dengan menempuh jalur hukum, lobi, demonstrasi – Pemerintah Pusat dan DPR RI pernah memutuskan kegiatan ini tidak dilanjutkan. Namun, di era Megawati, pemerintah memutuskan melanjutkan proyek ini, memberikan izin baru dan menjamin “paradigma baru” dalam operasinya. Kini, Porsea menjadi mantan pemenang yang tak ingin bicara – yang membiarkan camatnya menolak siapapun yang ingin bicara “lingkungan” untuk masuk ke kampung. Yang kuli-kuli pabriknya menghapus sejarah perjuangan mereka di masa lalu, enggan bercerita karena takut terdengar atasannya. Yang mantan aktivis terberaninya bisa berkata, “Kalau kamu tanya saya tentang TPL, saya tidak akan jawab.” 

Warga Kendeng menang di pengadilan. Tapi kemenangan itu sementara – penguasa mematuhi putusan MA dan mencabut Izin Lingkungan yang menjadi pokok permasalahan. Namun, ada ranah di mana suara mereka, dan suara kami, kurang bertenaga. Warga Kendeng tidak memiliki kemewahan ahli-ahli yang turun ke jalan sebagaimana warga Porsea dulu. Dan dalam sekali sidang addendum AMDAL, dokumen yang dipermasalahkan bertahun-tahun dalam gugatan TUN itu kembali dinyatakan layak – sekalipun ada beberapa perubahan yang disyaratkan. Saya tak ingin menuduh siapapun menjual ilmu pengetahuan, tapi bisakah saya tak mempertanyakan – tak adakah suara yang mewakili karst pegunungan Kendeng, dan bercerita pada yang mulia para anggota komisi sidang AMDAL mengapa ia begitu signifikan bagi lingkungan? Tak adakah yang memastikan penilaian holistik dalam Bab 4 AMDAL benar-benar dinilai secara holistik? Tak adakah yang mempertanyakan jika sidang sehari cukup untuk melihat kembali ekosistem karst Kendeng secara utuh? Dan mengapa hanya ada satu alterantif bagi warga Kendeng – relokasi, pindah paksa?

Annelies juga kalah, tapi Nyai Ontosoroh dan Minke yang hidup dari pena Pram memenangkan hati orang-orang seperti kami. Ada yang pernah berkata, kami harus tabah untuk selalu kalah. Sekalipun kami menang di pengadilan, penguasa pasti punya cara memaksakan keinginannya – dan ilmu pengetahuan tak selalu jujur. Kendeng belum berakhir – dan semoga sisa-sisa tenaga mereka untuk melawan tetap ada. Saya ingin mendongengkan Bumi Manusia kepada ibu-ibu yang lelah, dan memberitahu mereka bahwa mereka adalah bagian dari cerita.
Saya ingin memaksa lembaga saya untuk bersikap dan bersiap - memaksa mata dan jari saya mengeksplorasi di mana celah hukum yang cukup strategis untuk melawan.

Kami akan melawan, Nyai. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.

Kisah kita adalah Bumi Manusia yang sesungguhnya.

3 comments:

Jejak Katumbiri said...

Sedih kalo ngikutin Kendeng. Dulu saya pernah nginep bbrp hari di rumah Gun Retno di Pati dan menyaksikan sendiri bagaimana perjuangan mereka yang tulus mampu menyatukan orang Samin, NU, seniman, akademisi, dll.

Sepakat, kita akan terus melawan.
Salam kenal,
Tatat

Rd said...

Penggadaian ilmu pengetahuan demu penguasa & bisnis itu menyebalkan, duh smoga suatu saat saya bisa ikutan perjuangan demi kebenaran seperti itu :(

Margaretha Quina said...

Salam kenal, Mba Tatat! Semoga kapan-kapan bisa jalan bareng yaaa :") RD, bisa dooong, banyak caranya, krn dukungan publik adalah hakim yg paling menentukan!