Sunday, February 12, 2017

Pengampunan, Memaafkan dan Pencarian Keadilan


Sumber: http://www.quickmeme.com/meme/3s55lt

“Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.” (Matius 5:38-39)

Tulisan ini bukan tentang agama, atau interpretasi sabda. Tulisan ini adalah kegelisahan tentang bagaimana suatu dogma mengakar, dan mempengaruhi perilaku suatu golongan penganut agama tertentu dalam menuntut keadilan. Buat saya, perilaku umat Kristiani dalam menghadapi intoleransi dan penindasan problematik. Buat gereja, perilaku itu adalah implementasi sabda.

Sebagai seorang yang tumbuh dengan hukum kasih sebagai bagian inti dari pendidikan karakter, saya harus akui bahwa hati kecil saya masih menganggap rangkaian paragraf dalam Matius 5 sangat indah. Matius menuliskan tutur Yesus, “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu,” seperti Allah yang menerbitkan matahari bagi yang jahat dan yang baik serta hujan bagi yang benar dan tidak benar. Katolik, sebagai suatu agama, tumbuh sebagai kumpulan kaum tertindas, dan sangat kental dengan nuansa perlindungan kaum marjinal. Sekalipun sejarah gereja tak lepas dari kesewenang-wenangan, berbagai ordo modern telah memberikan warna keadilan sosial yang kental – bahwa kerajaan surga adalah bagi kaum tertindas; dan bahwa atas ketertindasan itu, hendaklah di dunia engkau penuh pengampunan.

Namun, saya juga anak seorang pengacara, yang sedari kecil biasa mendengar ketukan pintu di tengah malam yang disusul dengan isak tangis ibu-ibu lebam habis dipukuli suaminya. Atau mencuri dengar klien Papa yang menempuh perjalanan 12 jam dalam rombongan besar, ketakutan karena gereja mereka di antah berantah dirusak atau diancam dibubarkan. Jika berkonsultasi dengan gereja, awalnya mereka akan pulang dengan ketabahan serta pengharapan bahwa dengan kasih, Tuhan akan melunakkan hati sang penindas. Adakah cerita sukses? Ada – namun, sebagian besar akan kembali setelah mengalami penindasan yang lebih parah. Sekalipun pola ini berulang, hampir tidak pernah gereja, sebagai institusi, menyarankan umatnya melawan. Apalagi melawan dengan instrumen hukum sebagai pilihan pertama. 

Ada celah yang mengganggu di sini: Jika suatu kelompok mencita-citakan keadilan sosial, tentu mereka memahami ketimpangan sosial. Dalam ketimpangan sosial, kaum marjinal lebih rentan penindasan dan kesewenang-wenangan. Dan hukum dibuat untuk melindungi kaum yang lebih lemah ini dari kesewenang-kewenangan oleh kaum yang lebih kuat – atau umum dikenal, “law as a shield.” Di sisi lain, ketika sikap gereja seolah-olah memisahkan pengampunan dan hukum, seringkali kaum yang lemah justru alpa melihat hukum sebagai alat memperjuangkan hak mereka. Ada karakter hukum yang lain yang dihindari, namun tidak terlibat di sini, “law as a sword” – hukum sebagai alat menyerang.

Keadaan ini semakin nyata ketika dalam momentum intoleransi dan politisasi agama akhir-akhir ini instrumen hukum gencar digunakan. Perihal bagaimana seharusnya gereja merespon penggunaan instrumen hukum pidana dalam politisasi agama ini menimbulkan perbedaan pendapat yang cukup tajam:

Pendekatan pertama, gereja sebagai institusi mengadvokasi “ditampar pipi kiri, berikan pipi kanan” dalam menenangkan umatnya. Tahun lalu, saya mengalami misa Natal di Yogyakarta, dan mendengar kotbah yang kebetulan indah dari Pastor yang memimpin misa. Ia mengajak dalam Natal ini umat Kristiani “Bersyukur bahwa Tuhan boleh dihujat. Bersyukur bisa ikut merasakan Yesus dihujat.” Indah kedengarannya, tapi hal ini bukan tanpa masalah. Masalah utama adalah implikasi doktrin ini terhadap cara umat menyikapi ketidakadilan. Umat yang sudah minoritas, diajari bermental permisif pula. Mungkin dalam perkara keagamaan, ini tidak terlalu kentara. Namun mari kita bayangkan mental permisif ini dalam ketidakadilan lainnya: dalam masalah KDRT seperti ilustrasi di atas, dalam perampasan tanah, penggusuran, fitnah atau bahkan penganiayaan. Dalam kaitannya dengan berbagai ketidakadilan tersebut, kadang, satu-satunya jalur dalam memperjuangkan hak-hak minoritas adalah hukum – bukan pengampunan.

Pendekatan kedua, umat atau perkumpulan umat, utamanya kelompok muda, menggunakan pendekatan “pengampunan dan jalur hukum harus berjalan paralel.” Salah satunya, PMKRI mengajukan laporan pidana atas penistaan agama oleh Habib Riziq. Inipun bukan tanpa kontradiksi, bergantung pada cara pandang kita: Apakah ini mata ganti mata gigi ganti gigi? Ataukah semata kelompok minoritas yang mencari perlindungan melalui hukum?

Saya bersyukur bahwa kelompok yang kedua hadir. Bahwa ketika gereja sebagai institusi, dengan segala kealpaan atau kesengajaannya bersikap diam dan permisif atas nama pengampunan, masih ada individu-individu yang hadir dan mengingatkan bahwa penindasan dan ketidakadilan harus dilawan. Bahwa untuk mencapai keadilan sosial, minoritas tidak bisa permisif – tidak bisa terus diam dan hanya memaafkan. Saya bersyukur suara-suara ini disuarakan juga oleh individu-individu non-Kristen yang kerap mengingatkan, “Di manakah saudara-saudari Kristiani ketika gerejamu dibakar? Mengapa meminta penjagaan dari mayoritas, namun suara kalian tak ada?” – mengutip seorang supir Uber yang kebetulan pegiat toleransi antar umat beragama ketika saya menumpang mobilnya.

Bagi saya, memaafkan dan memperjuangkan keadilan adalah hal yang berbeda. Selama hukum tidak digunakan sebagai pedang, pencari keadilan masih dapat memaafkan dalam tataran individu. Namun tulisan ini tentu tidak akan menjawab atau mengadvokasi bagaimana gereja seharusnya bersikap. Seperti saya katakan di awal, tulisan ini hanyalah ungkapan kegelisahan. Untuk menjawabnya, lebih tepat kiranya teolog atau filsuf yang menuangkan dalam produk pengetahuan, misal, disertasi doktoral Driyakarya. Saya berikan pertanyaan penelitian gratisan untuk Anda: Bilamana pengampunan mengenyampingkan hukum sebagai pertahanan, sebagai alat perlindungan? Dan bilamana pengampunan mengenyampingkan hukum untuk memperjuangkan kebenaran? Tidakkah keduanya, pengampunan dan hukum, dapat berjalan bersamaan?

No comments: