Sumber: http://www.quickmeme.com/meme/3s55lt |
“Kamu telah mendengar
firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi Aku berkata kepadamu:
Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun
yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.” (Matius
5:38-39)
Tulisan ini bukan tentang agama, atau interpretasi sabda.
Tulisan ini adalah kegelisahan tentang bagaimana suatu dogma mengakar, dan
mempengaruhi perilaku suatu golongan penganut agama tertentu dalam menuntut
keadilan. Buat saya, perilaku umat Kristiani dalam menghadapi intoleransi dan
penindasan problematik. Buat gereja, perilaku itu adalah implementasi sabda.
Sebagai seorang yang tumbuh dengan hukum kasih sebagai
bagian inti dari pendidikan karakter, saya harus akui bahwa hati kecil saya masih
menganggap rangkaian paragraf dalam Matius 5 sangat indah. Matius menuliskan
tutur Yesus, “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang
menganiaya kamu,” seperti Allah yang menerbitkan matahari bagi yang
jahat dan yang baik serta hujan bagi yang benar dan tidak benar. Katolik,
sebagai suatu agama, tumbuh sebagai kumpulan kaum tertindas, dan sangat kental
dengan nuansa perlindungan kaum marjinal. Sekalipun sejarah gereja tak lepas
dari kesewenang-wenangan, berbagai ordo modern telah memberikan warna keadilan
sosial yang kental – bahwa kerajaan surga adalah bagi kaum tertindas; dan bahwa
atas ketertindasan itu, hendaklah di dunia engkau penuh pengampunan.
Namun, saya juga anak seorang pengacara, yang sedari kecil
biasa mendengar ketukan pintu di tengah malam yang disusul dengan isak tangis
ibu-ibu lebam habis dipukuli suaminya. Atau mencuri dengar klien Papa yang
menempuh perjalanan 12 jam dalam rombongan besar, ketakutan karena gereja mereka
di antah berantah dirusak atau diancam dibubarkan. Jika berkonsultasi dengan
gereja, awalnya mereka akan pulang dengan ketabahan serta pengharapan bahwa
dengan kasih, Tuhan akan melunakkan hati sang penindas. Adakah cerita sukses?
Ada – namun, sebagian besar akan kembali setelah mengalami penindasan yang
lebih parah. Sekalipun pola ini berulang, hampir tidak pernah gereja, sebagai
institusi, menyarankan umatnya melawan. Apalagi melawan dengan instrumen hukum
sebagai pilihan pertama.
Ada celah yang mengganggu di sini: Jika suatu kelompok
mencita-citakan keadilan sosial, tentu mereka memahami ketimpangan sosial.
Dalam ketimpangan sosial, kaum marjinal lebih rentan penindasan dan
kesewenang-wenangan. Dan hukum dibuat untuk melindungi kaum yang lebih lemah
ini dari kesewenang-kewenangan oleh kaum yang lebih kuat – atau umum dikenal, “law as a shield.” Di sisi lain, ketika sikap
gereja seolah-olah memisahkan pengampunan dan hukum, seringkali kaum yang lemah
justru alpa melihat hukum sebagai alat memperjuangkan hak mereka. Ada karakter
hukum yang lain yang dihindari, namun tidak terlibat di sini, “law as a sword” – hukum sebagai alat
menyerang.
Keadaan ini semakin nyata ketika dalam momentum intoleransi
dan politisasi agama akhir-akhir ini instrumen hukum gencar digunakan. Perihal
bagaimana seharusnya gereja merespon penggunaan instrumen hukum pidana dalam
politisasi agama ini menimbulkan perbedaan pendapat yang cukup tajam:
Pendekatan pertama, gereja sebagai institusi mengadvokasi “ditampar
pipi kiri, berikan pipi kanan” dalam menenangkan umatnya. Tahun lalu, saya
mengalami misa Natal di Yogyakarta, dan mendengar kotbah yang kebetulan indah
dari Pastor yang memimpin misa. Ia mengajak dalam Natal ini umat Kristiani “Bersyukur
bahwa Tuhan boleh dihujat. Bersyukur bisa ikut merasakan Yesus dihujat.” Indah
kedengarannya, tapi hal ini bukan tanpa masalah. Masalah utama adalah implikasi doktrin ini terhadap cara umat menyikapi ketidakadilan. Umat yang sudah minoritas, diajari bermental permisif pula. Mungkin dalam perkara keagamaan, ini tidak terlalu kentara. Namun mari kita bayangkan mental permisif ini dalam ketidakadilan lainnya: dalam masalah KDRT seperti ilustrasi di atas, dalam perampasan tanah, penggusuran, fitnah atau bahkan penganiayaan. Dalam kaitannya dengan berbagai ketidakadilan tersebut, kadang,
satu-satunya jalur dalam memperjuangkan hak-hak minoritas adalah hukum – bukan pengampunan.
Pendekatan kedua, umat atau perkumpulan umat, utamanya
kelompok muda, menggunakan pendekatan “pengampunan dan jalur hukum harus
berjalan paralel.” Salah satunya, PMKRI mengajukan laporan pidana atas
penistaan agama oleh Habib Riziq. Inipun bukan tanpa kontradiksi, bergantung
pada cara pandang kita: Apakah ini mata ganti mata gigi ganti gigi? Ataukah semata
kelompok minoritas yang mencari perlindungan melalui hukum?
Saya bersyukur bahwa kelompok yang kedua hadir. Bahwa ketika
gereja sebagai institusi, dengan segala kealpaan atau kesengajaannya bersikap
diam dan permisif atas nama pengampunan, masih ada individu-individu yang hadir
dan mengingatkan bahwa penindasan dan ketidakadilan harus dilawan. Bahwa untuk
mencapai keadilan sosial, minoritas tidak bisa permisif – tidak bisa terus diam
dan hanya memaafkan. Saya bersyukur suara-suara ini disuarakan juga oleh individu-individu
non-Kristen yang kerap mengingatkan, “Di manakah saudara-saudari Kristiani ketika
gerejamu dibakar? Mengapa meminta penjagaan dari mayoritas, namun suara kalian
tak ada?” – mengutip seorang supir Uber yang kebetulan pegiat toleransi antar
umat beragama ketika saya menumpang mobilnya.
Bagi saya, memaafkan dan memperjuangkan keadilan adalah hal
yang berbeda. Selama hukum tidak digunakan sebagai pedang, pencari keadilan
masih dapat memaafkan dalam tataran individu. Namun tulisan ini tentu tidak
akan menjawab atau mengadvokasi bagaimana gereja seharusnya bersikap. Seperti
saya katakan di awal, tulisan ini hanyalah ungkapan kegelisahan. Untuk
menjawabnya, lebih tepat kiranya teolog atau filsuf yang menuangkan dalam
produk pengetahuan, misal, disertasi doktoral Driyakarya. Saya berikan pertanyaan
penelitian gratisan untuk Anda: Bilamana pengampunan mengenyampingkan hukum sebagai
pertahanan, sebagai alat perlindungan? Dan bilamana pengampunan
mengenyampingkan hukum untuk memperjuangkan kebenaran? Tidakkah keduanya,
pengampunan dan hukum, dapat berjalan bersamaan?
No comments:
Post a Comment