Friday, March 17, 2017

Indian Pale Ale, Nostalgia Keberagaman Bir Pasifik Barat Laut



Sebagian besar orang, peminum ataupun bukan, yang berkunjung ke bagian barat laut pantai barat Amerika Serikat akan terpesona dengan keanekaragaman birnya. Bagian ini, yang dikenal sebagai Pacific Northwest, mencakup negara bagian Washington (Seattle) dan Oregon (Portland), memiliki berbagai jenis bir yang dibuat industri rumahan, dengan resep-resep tradisional maupun eksperimental dengan nama dan jenis yang sangat beragam jika dibandingkan dengan bir-bir industri skala besar. Terlebih lagi bagi orang Indonesia, yang hanya mengenal dua jenis bir: pilsner (sebagaimana kita bisa lihat ditulis “pilsener” di merk Bir Bintang) dan stout (sederhananya, bir hitam, misalnya Anker Stout atau Guiness Stout), tentu keberagaman bir ini sangat mencengangkan! Mau tahu seberapa beragam bir itu sebenarnya? Lihatlah bagan taksonomi bir di bawah, dan beritahu saya jika kamu tidak terpesona!

Sumber: http://www.businessinsider.co.id/different-types-of-beer-2014-12/?r=US&IR=T

Sebagai bocah yang penasaran dengan semua hal, saya merupakan jenis orang yang sangat kegirangan ketika berada dalam arena keberagaman bir Pasifik Barat Laut ini. Sekalipun hanya menghabiskan waktu setahun di Portland, Oregon, saya merasa cukup puas dengan peningkatan pengetahuan saya mengenai bir ketika saya berada di sana. Portland merupakan sebuah kota hipster, unik dan aneh, dengan berbagai industri bir rumahan dan bar keren yang menjamur di seantero kota. Dengan bantuan aplikasi Yelp, saya melakukan riset kecil bar-bar terkeren di Portland dan mengunjunginya satu per satu. Patutlah saya berterima kasih kepada selusinan couchsurfers yang mampir di rumah sewaan saya di Portland, yang menemani saya menjajal bar keren ini satu per satu, bahkan terkadang memberikan saya referensi bar yang saya tidak ketahui.

Tapi, anyway, bintang tamu kita kali ini bukanlah bar-bar keren Portland, tapi bir kesukaan mayoritas penduduk Portland, yang kebetulan juga populer di seantero Pasifik Barat Laut: Indian Pale Ale, atau populer dengan nama IPA.

Salah satu bar Oregon yang menawarkan berbagai jenis IPA - Breakside. Sumber: http://brewpublic.com
Yang membedakan Indian Pale Ale (IPA) dengan bir-bir lain adalah citarasa hops yang cukup kuat, yang memberikan sensasi rasa pahit dengan wangi yang khas dan rasa unik yang kuat. Hops merupakan salah satu bahan baku bir, yang takaran dan komposisinya dengan bahan lain - malt, ragi dan air, berbeda-beda untuk tiap resep bir. Dalam konteks IPA, resepnya menggunakan hops dengan takaran yang cukup banyak. Hops sendiri, sebagai sepupu cannabis sativa, tentu memberikan sensasi nyaman, agak pusing dan girang yang cenderung lebih tinggi jika ditambahkan dalam kadar yang lebih banyak. Hal ini tidak selalu paralel dengan tingginya kadar alkohol - kadar alkohol IPA sendiri berkisar antara 5-12%, namun meminum IPA 5% tentu berbeda dengan meminum pilsner 5%. Karena itulah IPA cenderung lebih cepat membuat tipsy, walaupun sebagaimana bir pada umumnya, butuh IPA dalam jumlah yang sangat banyak untuk memabukkan seseorang.

Rogue adalah salah satu merk bir skala medium yang terkenal di Oregon. Sumber: http://www.rogue.com

Keberangkatan seorang teman ke kota dekat kota saya bersekolah dulu baru-baru inilah yang membuat saya girang. Ketika Dodo berangkat ke Eugene, ingin rasanya saya menitipkan satu koper untuk diisi secara eksklusif dengan dua lusin bir, khususnya IPA. Seperti kalian bisa lihat, IPA sendiri ada berbagai jenis lho! Pada dasarnya, bir yang menggunakan resep dengan kombinasi hops yang berbeda (jumlah, jenis atau campurannya) akan menghasilkan citarasa yang berbeda pula. Di Oregon, yang iklimnya cocok untuk bertanam berbagai jenis hops, dengan musim panas yang mengalami paparan sinar matahari lebih dari 15 jam, terdapat banyak kombinasi hops yang bisa diracik dalam berbagai resep IPA.

Hal ini kontras dengan Indonesia, di mana matahari terbit dan tenggelam dalam jangka waktu 12 jam - relatif sama di semua musim. Dengan paparan sinar matahari kurang dari 15 jam / hari, hops tidak bisa tumbuh. Lebih lagi, budaya Indonesia yang kehilangan kearifan lokalnya mengenai alkohol pasca masuknya Islam; yang berimbas pada tingginya pajak alkohol sekarang, merupakan faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat kreativitas para pembuat bir di Indonesia. Dengan rendahnya tingkat kreativitas, pasar pun tidak terbiasa dengan berbagai citarasa bir. Alhasil, orang Indonesia cenderung menganggap citarasa IPA yang pahit dengan bau herbal yang khas bercitarasa aneh, terlalu mendobrak.

Bagi yang telah mengenal indahnya IPA, Indonesia memang bukan kenyataan pahit yang harus dihadapi. Di Jakarta, cukup sulit buat saya menemukan IPA yang enak. Coffeebeerian dulu menawarkan IPA yang rasanya lumayan, namun karena orang Indonesia tidak begitu menyukainya, menu tersebut tidak pernah ditambah lagi stoknya. Pilihan lainnya akhirnya jatuh pada Brewerkz, sebuah produsen bir mikro dengan bar di Senayan City, yang memiliki pilihan bir yang cukup enak. Setidaknya, untuk perindu IPA, bisa lah mengobati rindu. Sayangnya, harga bir di Brewerkz ini relatif mahal - sekitar Rp 60.000,- - Rp 150.000,- per gelasnya.

Bukan promosi! Sumber: http://scontent.cdninstagram.com
Akhir cerita, Dodo membawakan saya sebotol IPA saja -- tapi sebotol yang membuat saya super kegirangan: Watershed IPA dari Oakshire Brewery. Menjadi spesial karena di kantor saya mengerjakan isu pencemaran air, dan erat berhubungan dengan daerah aliran sungai (watershed). Meminumnya, rasanya sungguh nostalgik - pahit, kental, tajam; membuat saya baru sadar bahwa IPA di Indonesia belum ada apa-apanya. Minum setengah botol saja, saya sudah cukup happy -- jauh beda dengan bir Indonesia (misal, Bintang atau Anker) yang hanya membuat kembung saja. Tapi, seperti saya duga, anak-anak kantor lainnya nggak ada yang suka bir ini. Wajar sekali sih bagi peminum pertama nggak langsung suka.

Thank you Dodo! You're the bessst :*
 Anyway -- siapapun yang pergi ke Oregon, dengan senang hati saya akan titipi IPA apabila kalian tidak keberatan dan tidak akan memanfaatkan jatah alkohol kalian. Lawyers, saya perlu advis nih berapa jumlah bir maksimal yang bisa dibawa dalam satu koper! Kalau ada yang bisa memberitahukan, kabarin yaaa! Nanti aku bagi :)

CIUM BAU BIR MWAH :*






Sunday, March 12, 2017

#WeekendTanpaMall: Camp Herpetofauna 2017



Sabtu-Minggu ini saya mengikuti kegiatan yang agak tidak lazim diikuti anak hukum, non-hobiis, bukan pegadang, dan bukan pula ilmuwan. Berawal dari poster lucu yang diteruskan Isna dan Wenni dari geng konservasinya, saya mendaftarkan diri mengikuti Camp Herpetofauna di Gunung Pancar. Tanpa pikir panjang, saya yang bahkan tidak tahu apa itu herpetofauna langsung mendaftar. Pikir saya, lucu juga nih ke Gunung Pancar murah meriah, lalu belajar dari narsum-narsum yang kayaknya keren-keren (walaupun saya juga nggak tahu satupun orang-orangnya), dapat pengetahuan baru plus teman-teman baru, plus yang paling penting, main ke gunung dan menghindari akhir minggu terbuang sia-sia.

Dan di situlah saya sedari kemarin hingga tadi pagi, tanpa  sinyal, tanpa laptop: Camp Herpetofauna 2017. Paling tidak, ilmu pertama yang dapat saya amalkan ke manusia-manusia awam sekalian adalah… H-1 saya akhirnya tahu apa itu herpetofauna! Intinya, hewan yang perutnya menempel di tanah (atau permukaan di mana mereka berpijak), yang kalau dalam pengelompokan ilmiah simpelnya kita kenal sebagai reptil dan amfibi. Merayap, melompat, terbang, pokoknya kalau nempel ke tanah, itu masuk ke herpetofauna.

Hal lain yang saya baru ketahui kemudian adalah… Ternyata cukup banyak dan cukup niat juga ya penggemar reptil dan amfibi Indonesia. Acara yang tadinya saya kira berisi anak-anak haha hihi semacam saya dan Isna (keduanya anak hukum, datang tanpa ekspektasi dan tidak pernah punya pengalaman apapun dengan reptil dan amfibi), ternyata diisi para hobiis, pengembangbiak, calon ilmuwan, dan calon praktisi (dokter) herpetofauna dari berbagai tempat. Tidak hanya dari Jakarta dan sekitarnya lho – para peserta dari Cirebon, Sukabumi, Bandung, Jogjakarta, Pontianak, bahkan Ketapang! Bahkan, saya bertemu satu anak gadis yang terbang sendiri (dengan inisiatif dan biaya sendiri) dari Pontianak untuk mengikuti acara ini.

Jadi, acara apa sih ini sebenarnya? Kalau bahasa kerennya, #CampHerp2017 ini adalah forum capacity building yang dibuat dengan metode semenarik mungkin – memadukan paparan para ahli beken, praktek di lapangan serta pembelajaran secara aktif. Cie elah. Ya kira-kira begitulah. Seperti tadi saya bilang, ada beberapa pembicara beken ya, ini nih nama-namanya, kepoin deh, ternyata beneran beken lho. Ada yang dapat hibah NatGeo dan bikin aplikasi citizen science untuk pemantauan herpetofauna (Ibu Mirza “Miki” Kusrini), ada yang mbah-nya pengembangbiakan ular (dan beberapa reptil lain) (Paul Ryan), ada ilmuwan kenamaan yang semacam bank data herpetofauna dan punya akses hingga ke DNA mereka (Pak Amir), ada yang ahli penanganan gigitan ular (Bu Tri), ada dokter hewan yang (konon) paling paham reptil (Pak Slamet) dan sebagainya. Nih posternya yang bikin saya dan Isna tergiur.


Dari enam set materi (plus satu observasi lapangan) yang kami dapatkan, yang paling berkesan buat saya tentu saja herping (herpetofauna monitoring) itu sendiri! Malam-malam, kami disuruh ke hutan di dekat curug, lalu berjalan sesuai dengan trek yang ditentukan, dan… mencari kodok! Yaaa, nggak cuma kodok sih, ada juga katak, kadal, cicak, bahkan ular. Ada tujuh kelompok dengan trek yang berbeda-beda – dan apesnya, kami dapat trek yang point start-nya paling jauh.

Naaaah, dari trip singkat ini, sebagai orang awam sejati yang nggak tahu bedanya katak sama kodok dalam kehidupan nyata, saya bisa berbagi tips buat kalian kalau ada temannya yang ngajak herping:
  1. Herping itu basically melakukan survey mengenai amfibi dan reptil apa saja yang ada di lokasi tertentu pada saat periode survey tertentu. Prakteknya, ini akan melibatkan (a) pendokumentasikan (baik dengan kamera maupun mencatat) amfibi/reptil yang ditemui; (b) mengambil / menangkap sementara reptil / amfibi yang ditemui untuk diidentifikasi lebih lanjut (yessss, kamu akan menangkap, memegang, dan mengambil kodok!); (c) mengidentifikasi amfibi / reptil yang kamu temukan dan melaporkannya sesuai dengan format (a.l. mencakup lokasi penemuan dalam parameter jarak dari sungai dan tinggi dari tanah saat hewan ditemukan; aktivitasnya saat itu; panjang tubuh, dll). Nantinya, ketika sudah selesai diidentifikasi dan dicatat, kita akan mengembalikan reptil itu ke alam liar. Maka itu, dalam herping, kita harus membawa peralatan yang cukup untuk memastikan si reptil ataupun amfibi yang kita “pinjam” dari alam bisa tetap hidup dan tenang selama dalam masa peminjaman;
  2. Dresscode: Pakai celana panjang dan hindari baju yang mencolok. Kalau nggak salah sih ini termasuk standar kemananan terkait dengan perilaku reptil/amfibinya, tapi saya lupa kenapa persisnya. Kedua, yang jauh lebih penting – sebaiknya pakai sepatu boots – as in, rainboots atau boots kebun (itu, yang kayak dipakai kuli-kuli sawit gitu) karena kita akan susur a.k.a. nyebur ke sungai. Bukan cuma loncat-loncat cantik dari batu ke batu ya. Jadi, kalau pakai sepatu, udah pasti akan basah.
  3. Herping dilakukan pada jam-jam tertentu. Berdasarkan catatan saya, sekitar jam 8-10 pagi dan jam 6-9 malam. Waktu kami herping sih telat banget, jam 11 baru mulai jalan. Nah, konon kata orang lokal, jam segini ular udah pada masuk. Tapi kodok, katak sama kadal masih ada sih.
Overall, it was so much fun! Noh beberapa spoilernya:

Quino berani megang cicak batu YAAWLOH

Ular hasil tangkapan herping. Yang nangkep harus yang berpengalaman ya! Dan pakai hook! 


Banyak anak-anak bertalenta ajaib nih! 

Skill spotting amfibi/reptil: NOL

Yang jelas, Quina sekarang sudah bisa megang kodok tanpa takut. Belum praktek sih kalau di alam, tapi tadi kalau dari kantong udah bisa kok. Demikianlah sekilas laporan awal Camping Herpetofauna 2017. Detilnya nanti yaaa, biar misterius-misterius gitu deh, dan biar pembaca pada kangen dan penasaran gitu kan sama aku (sambil kedip-kedip).