Suatu aktivitas saya beberapa hari ini
mengingatkan saya akan kehidupan kampus dan dinamika di dalamnya – salah
satunya yang terjadi pada tanggal-tanggal ini adalah open recruitment Badan Eksekutif Mahasiswa. Saya masih bisa
merasakan excitement mahasiswa baru
yang masih dipenuhi rasa ingin tahu mencoba ini dan itu, dan tentunya adalah BEM
yang paling biasa “dicoba-coba saja lumayan buat nambah CV”.
Pada kesempatan ini saya akan bicara tentang
Departemen Pengabdian Masyarakat, karena hanya departemen inilah yang pernah
saya cicipi – dan departemen inilah yang telah mengajarkan saya terlalu banyak
hal dalam empat tahun kehidupan kampus.
Bus Kuning, pahlawan kami selama 4 hari distribusi bantuan di Magelang |
Departemen Pengabdian Masyarakat mungkin tidak tampak dan tidak bergengsi – ini adalah departemen bagi mereka yang mau bergerak di hari Sabtu dan Minggu (tentu dengan ekstra koordinasi di weekdays), menempuh 4-6 jam perjalanan pulang pergi ke tempat community development atau community service setiap dua minggu sekali (pada jaman saya 2009 dan 2010; sekarang lokasi comdev 20 menit dari kampus), mengedarkan amplop kala bencana – mendata dan menyortir sumbangan, turun ke jalan dan berjualan mengumpulkan uang untuk membuat acara buat orang-orang yang sama sekali asing.
Tetapi departemen inilah yang menjembatani
saya dengan kehidupan yang tadinya tak pernah saya lihat, memberikan saya
kesempatan untuk melihat dengan perspektif yang berbeda.
Community development di Sukabumi mengajarkan saya bagaimana hukum
dilihat oleh masyarakat awam – bagaimana KTP, akta kelahiran dan dokumen-dokumen
dasar tidak dimiliki para petani, ibu-ibu di kampung dan betapa keadaan ini
dipandang sebagai suatu hal yang wajar. Di sinilah saya merasakan jarak yang
terbentang karena perbedaan mindset, tingkat
kesejahteraan, dan pendidikan – betapa sulitnya kami meyakinkan masyarakat
bahwa dokumen-dokumen dasar ini memiliki arti penting dalam peningkatan taraf
hidup mereka.
Nelayan di Kali Adem mengajarkan hal lain. Ketika
Pengmas BEM 2009 membawa kami ke perkampungan nelayan di Kali Adem, itulah kali
pertama saya merasakan malunya menyadari bahwa ada orang-orang yang menyisihkan
uangnya sedikit demi sedikit (dari pendapatannya yang juga sangat sedikit) –
untuk selama satu bulan mencapai jumlah yang saya habiskan untuk sekali
nongkrong di cafe. Dan saya melihat
bagaimana tabungan itu didasari visi untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik,
memberikan gizi dan pendidikan yang cukup buat anak-anaknya.
Lembaga Pemasyarakatan Anak Tangerang
memberikan perspektif yang lain tentang anak-anak terhukum – satu tahun yang
penuh kejutan. Kami mendengarkan cerita pembunuhan yang disampaikan dengan
wajah santai. Kami mendengarkan rasa bersalah. Kami melihat harga sebuah masa
lalu yang harus ditutup-tutupi – sekalipun telah dibayar dengan prestasi. Kami
mendengarkan motif-motif baik dan mimpi-mimpi yang tidak terfasilitasi, kami
mendengarkan prejudice, rasa malu, dan
sekali lagi – kami melihat jurang yang lebar antara kaum terpelajar dan mereka
yang ingin belajar tapi belum mendapatkan fasilitas.
Salah satu yang paling menggugah adalah
ketika Pengmas BEM 2010 dikirim langsung ke Magelang untuk mendistribusikan
bantuan pasca letusan Gn. Merapi. Di saat itu saya berpikir bahwa mengirimkan
bis kuning dan sekian mahasiswa yang tidak memiliki keterampilan management
bencana adalah pemborosan. Tidak demikian nyatanya – distribusi bantuan
memerlukan banyak tenaga dan transportasi sangat dibutuhkan. Pendataan bantuan
yang masuk dan barang yang disalurkan adalah hal penting terkait akuntabilitas
lembaga. Namun yang paling penting adalah dampak yang dirasakan para mahasiswa
ini – seeing is believing. Mereka
melihat sendiri bagaimana abu gunung berapi, merasakan dampak negatifnya pada
hidung, kulit, mata, saluran pernafasan. Mereka melihat sendiri keadaan kamp
pengungsian – bagaimana nenek-nenek harus tidur di lantai, bagaimana pengungsi
makan mie instant berhari-hari dan minum seadanya, bagaimana ramainya satu kamp
penampungan dan terpencilnya kamp penampungan yang lain, bagaimana orang miskin
dan orang kaya sama-sama buang air di toilet apapun – toilet alam jika memang
terpaksa. Saya melihat pula bagaimana profesi sopir bis kuning bisa jadi
profesi yang paling mulia – 4 hari 4 malam menyetir dengan istirahat seadanya,
tidur di tikar dan makan seadanya, di kota yang cukup asing baginya. Saya tidak
pernah lagi menyepelekan bencana, pengungsian, ataupun sopir bis kuning setelah
penugasan ke Magelang.
Keadaan Magelang pasca letusan Merapi |
Namun yang paling memotivasi adalah melihat
malaikat-malaikat kecil yang membuat kegiatan-kegiatan di atas dapat berjalan –
staff-staff Pengmas. Saya belum lupa
sesi interview Pengmas pada saat seleksi staff di tahun 2010 – mendengarkan motivasi
mereka, persepsi mereka tentang pengabdian masyarakat, harapan mereka. Lalu
selama setahun saya mendapatkan kesempatan melihat mereka belajar hal baru dari
setiap kegiatannya, merancang dan mencari pemecahan masalah, belajar dari
kekurangan di kegiatan sebelumnya. Di akhir periode Pengmas, saya telah belajar
terlalu banyak dari mereka.
Paragraf-paragraf panjang di atas baru
sebagian, tidak akan pernah habisnya membicarakan Pengmas. Satu warning, kalian harus siap merasa gagal –
siap merasa bahwa your best is not
enough. Tapi dari sinilah kalian belajar untuk melakukan assessment, perencanaan, menetapkan
indikator keberhasilan, membuat laporan sebaik mungkin. Warning kedua, hati-hati, kalian bisa ketagihan. Kampus adalah
salah satu tempat terbaik untuk melakukan ini – kampus, suatu tempat di mana
ribuan orang berkumpul pada tempat yang pasti dan waktu yang pasti.
Pengorganisasian, fundraising, awareness
raising, selalu lebih efektif dan efisien.
Kalian hanya punya empat tahun, maksimal enam
tahun di kampus kuning ini. Manfaatkanlah. Nikmatilah. Hidupilah.
No comments:
Post a Comment