Thursday, February 7, 2013

Memilih Departemen: Pengabdian Masyarakat

Suatu aktivitas saya beberapa hari ini mengingatkan saya akan kehidupan kampus dan dinamika di dalamnya – salah satunya yang terjadi pada tanggal-tanggal ini adalah open recruitment Badan Eksekutif Mahasiswa. Saya masih bisa merasakan excitement mahasiswa baru yang masih dipenuhi rasa ingin tahu mencoba ini dan itu, dan tentunya adalah BEM yang paling biasa “dicoba-coba saja lumayan buat nambah CV”.

Pada kesempatan ini saya akan bicara tentang Departemen Pengabdian Masyarakat, karena hanya departemen inilah yang pernah saya cicipi – dan departemen inilah yang telah mengajarkan saya terlalu banyak hal dalam empat tahun kehidupan kampus.

Bus Kuning, pahlawan kami selama 4 hari distribusi bantuan di Magelang

Departemen Pengabdian Masyarakat mungkin tidak tampak dan tidak bergengsi – ini adalah departemen bagi mereka yang mau bergerak di hari Sabtu dan Minggu (tentu dengan ekstra koordinasi di weekdays), menempuh 4-6 jam perjalanan pulang pergi ke tempat community development atau community service setiap dua minggu sekali (pada jaman saya 2009 dan 2010; sekarang lokasi comdev 20 menit dari kampus), mengedarkan amplop kala bencana – mendata dan menyortir sumbangan, turun ke jalan dan berjualan mengumpulkan uang untuk membuat acara buat orang-orang yang sama sekali asing.

Tetapi departemen inilah yang menjembatani saya dengan kehidupan yang tadinya tak pernah saya lihat, memberikan saya kesempatan untuk melihat dengan perspektif yang berbeda.

Community development di Sukabumi mengajarkan saya bagaimana hukum dilihat oleh masyarakat awam – bagaimana KTP, akta kelahiran dan dokumen-dokumen dasar tidak dimiliki para petani, ibu-ibu di kampung dan betapa keadaan ini dipandang sebagai suatu hal yang wajar. Di sinilah saya merasakan jarak yang terbentang karena perbedaan mindset, tingkat kesejahteraan, dan pendidikan – betapa sulitnya kami meyakinkan masyarakat bahwa dokumen-dokumen dasar ini memiliki arti penting dalam peningkatan taraf hidup mereka.

Nelayan di Kali Adem mengajarkan hal lain. Ketika Pengmas BEM 2009 membawa kami ke perkampungan nelayan di Kali Adem, itulah kali pertama saya merasakan malunya menyadari bahwa ada orang-orang yang menyisihkan uangnya sedikit demi sedikit (dari pendapatannya yang juga sangat sedikit) – untuk selama satu bulan mencapai jumlah yang saya habiskan untuk sekali nongkrong di cafe. Dan saya melihat bagaimana tabungan itu didasari visi untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik, memberikan gizi dan pendidikan yang cukup buat anak-anaknya.

Lembaga Pemasyarakatan Anak Tangerang memberikan perspektif yang lain tentang anak-anak terhukum – satu tahun yang penuh kejutan. Kami mendengarkan cerita pembunuhan yang disampaikan dengan wajah santai. Kami mendengarkan rasa bersalah. Kami melihat harga sebuah masa lalu yang harus ditutup-tutupi – sekalipun telah dibayar dengan prestasi. Kami mendengarkan motif-motif baik dan mimpi-mimpi yang tidak terfasilitasi, kami mendengarkan prejudice, rasa malu, dan sekali lagi – kami melihat jurang yang lebar antara kaum terpelajar dan mereka yang ingin belajar tapi belum mendapatkan fasilitas.

Salah satu yang paling menggugah adalah ketika Pengmas BEM 2010 dikirim langsung ke Magelang untuk mendistribusikan bantuan pasca letusan Gn. Merapi. Di saat itu saya berpikir bahwa mengirimkan bis kuning dan sekian mahasiswa yang tidak memiliki keterampilan management bencana adalah pemborosan. Tidak demikian nyatanya – distribusi bantuan memerlukan banyak tenaga dan transportasi sangat dibutuhkan. Pendataan bantuan yang masuk dan barang yang disalurkan adalah hal penting terkait akuntabilitas lembaga. Namun yang paling penting adalah dampak yang dirasakan para mahasiswa ini – seeing is believing. Mereka melihat sendiri bagaimana abu gunung berapi, merasakan dampak negatifnya pada hidung, kulit, mata, saluran pernafasan. Mereka melihat sendiri keadaan kamp pengungsian – bagaimana nenek-nenek harus tidur di lantai, bagaimana pengungsi makan mie instant berhari-hari dan minum seadanya, bagaimana ramainya satu kamp penampungan dan terpencilnya kamp penampungan yang lain, bagaimana orang miskin dan orang kaya sama-sama buang air di toilet apapun – toilet alam jika memang terpaksa. Saya melihat pula bagaimana profesi sopir bis kuning bisa jadi profesi yang paling mulia – 4 hari 4 malam menyetir dengan istirahat seadanya, tidur di tikar dan makan seadanya, di kota yang cukup asing baginya. Saya tidak pernah lagi menyepelekan bencana, pengungsian, ataupun sopir bis kuning setelah penugasan ke Magelang.

Keadaan Magelang pasca letusan Merapi

Namun yang paling memotivasi adalah melihat malaikat-malaikat kecil yang membuat kegiatan-kegiatan di atas dapat berjalan – staff-staff Pengmas. Saya belum lupa sesi interview Pengmas pada saat seleksi staff di tahun 2010 – mendengarkan motivasi mereka, persepsi mereka tentang pengabdian masyarakat, harapan mereka. Lalu selama setahun saya mendapatkan kesempatan melihat mereka belajar hal baru dari setiap kegiatannya, merancang dan mencari pemecahan masalah, belajar dari kekurangan di kegiatan sebelumnya. Di akhir periode Pengmas, saya telah belajar terlalu banyak dari mereka.

Paragraf-paragraf panjang di atas baru sebagian, tidak akan pernah habisnya membicarakan Pengmas. Satu warning, kalian harus siap merasa gagal – siap merasa bahwa your best is not enough. Tapi dari sinilah kalian belajar untuk melakukan assessment, perencanaan, menetapkan indikator keberhasilan, membuat laporan sebaik mungkin. Warning kedua, hati-hati, kalian bisa ketagihan. Kampus adalah salah satu tempat terbaik untuk melakukan ini – kampus, suatu tempat di mana ribuan orang berkumpul pada tempat yang pasti dan waktu yang pasti. Pengorganisasian, fundraising, awareness raising, selalu lebih efektif dan efisien.

Kalian hanya punya empat tahun, maksimal enam tahun di kampus kuning ini. Manfaatkanlah. Nikmatilah. Hidupilah.

No comments: