Friday, February 17, 2017

Mencari Partikulat, Berkencan dengan Laser Egg



Beberapa hari ini saya punya buntut baru, namanya laser egg. Benda yang lucu yang saya pinjam dari Greenpeace Indonesia pasca mereka meluncurkan aplikasi pemantauan kualitas udara bernama “Udara Kita.” Laser egg yang saya bawa (dan saya namai Si Telur) kebetulan hanya mampu mendeteksi debu, atau nama lainnya partikulat matter (PM). Debu sendiri terbagi beberapa jenis, ada yang besarnya lebih dari 10µm (TSP); ada yang kurang dari sama dengan 10µm (PM 10); dan partikel halus yang berukuran kurang dari sama dengan 2,5 µm (PM 2.5). Untuk pengantar singkat mengenai signifikansi perbedaan ukuran ini, silakan cek jawaban di Quora berikut. Untuk membayangkan seberapa kecil masing-masing debu, silakan lihat gambar di bawah. Singkat cerita, makin kecil ukuran debu, makin besar tingkat kebahayaannya. Soalnya, ia bisa masuk semakin dalam ke dalam sistem pernafasan. 

Si Telur mampu mendeteksi debu dan menampilkan kadar debu di udara dalam 4 bentuk: Air Quality Index (AQI) China; AQI USA; jumlah partikel; dan baku mutu udara ambient (dalam satuan µg/m3). Namun, yang ia tampilkan hanya PM 2.5. Kenapa alat ini yang dipilih? Karena, justru PM 2.5 lah yang kerap luput dipantau oleh pemerintah. Padahal, dari sisi kebahayaan, secara medis konsentrasi PM 2.5 yang terlalu tinggi di udara sudah terbukti dapat menyebabkan berbagai gangguan pernafasan akut (misal ISPA) dan kronik (misal asma, bronkitis, dan penyakit paru obstruktif kronik); selain itu, pencemaran udara oleh PM 2.5 dapat menyebabkan sakit jantung, stroke, serta kematian dini. Inilah yang tidak diketahui banyak orang. Sebagai anak kota, kesehatan kita jauh lebih rentan lho, karena udara yang kita hirup setiap hari ternyata sangat signifikan pengaruhnya terhadap kesehatan – dan umur – kita.


Saya membawa Si Telur untuk misi Bond 007 – alias misi rahasia. Namun, ada beberapa hal yang bisa saya ceritakan kepada kalian, terutama jika kalian berminat mengunduh aplikasi Udara Kita atau membeli laser egg sendiri. Kebetulan mobilitas saya cukup tinggi saat membawa Si Telur ini, yaitu dari selatan Bali (bandara) menuju ke utara nan segar; baik di perkampungan ataupun di jalan raya, baik di dalam rumah maupun di luar rumah. Sebagai patokan, biasanya saya melihat indeks AQI USA. Ingin tahu bagaimana bentuk indeks AQI USA?


Inilah beberapa pelajaran yang bisa saya petik dalam beberapa hari kebersamaan bersama si telur.

1. Nggak semua debu bisa kita rasakan.

Beberapa partikulat halus bisa kita rasakan sensasi mencekiknya dengan jelas, misal, knalpot yang mengepulkan asap, sumber pembakaran terbuka seperti sampah/BBQ, asap rokok, dll. Dalam radius dekat dengan sumber pencemar tersebut, Si Telur jelas bereaksi – dan reaksinya lebay, bisa sampai angka ideks 500 (sangat berbahaya / indikator warna hitam). Tapi, ada waktu-waktu di mana saya dan rekan tidak merasakan atau melihat apapun, namun angka indeks meningkat pesat sampai pada level tidak sehat bagi grup sensitif atau sangat tidak sehat (bagi grup manapun). Kebetulan, di tempat kami meletakkan si telur, memang terdapat sumber pencemar yang terus beroperasi 24 jam (dalam skala yang berbeda-beda). Dan dari hasil ngobrol ngalor ngidul kami dengan beberapa warga lokal, kebanyakan dari mereka justru mengungkapkan keluh kesah terkait dengan debu (TSP) yang kasat mata, bikin kotor namun kebahayaannya tidak sesignifikan PM 2.5.

Artinya, memang ada gap “rasa” dalam mengapresiasi PM 2.5 di sini – ia tidak selalu terlihat, tidak selalu terasa, tidak selalu berbau; namun ia ada. Seperti kamu dalam hatiku. Apasih, Quin, okelah kembali ke debu. Jadi, perlu dikritisi ya lagunya the Massive, aku tanpamu butiran debu – debunya TSP, PM 10, PM 2.5 atau bahkan nanopartikel? Kalau dua yang terakhir, artinya kamu sangat signifikan! (Mohon maaf atas kesimpulan yang ngelantur ini)


2. Udara dalam ruangan kita bukan tanpa masalah!

Salah satu fakta mengejutkan yang saya pelajari dari Si Telur adalah betapa udara di dalam ruangan bisa begitu keji dibandingkan dengan rekannya di luar. Ada masanya selama saya melakukan pengukuran di luar ruangan hasilnya baik-baik saja; namun begitu dibawa masuk ruangan, Si Telur bereaksi. Lalu, ada satu ruangan yang tercium bau debunya, di situ Si Telur langsung menunjukkan angka 170-an atau berbahaya (bagi semua grup). Yang paling mengejutkan, pagi ini, saat saya bangun tidur di resort cantik ber-AC dengan pintu tertutup, Si Telur menunjukkan indikator berbahaya bagi grup sensitif!

Sebagai orang kota yang menghabiskan sebagian besar hidup kita di dalam ruangan, tentu saja jadi was-was. Memang sih Bali berbeda kondisinya dengan Jakarta, karena di Jakarta luar ruangan mungkin terlalu keji. Tapi, Bali yang kondisi luar ruangannya minim debu saja bisa menghasilkan tumpukan debu yang tinggi di dalam ruangan. Nah, nasib Jakarta bagaimana donk? Tentu untuk menjawab kegamangan ini saya harus membawa Si Telur ke kamar-kamar orang, dari yang di lantai bawah hingga nun jauh di atap. Tunggu laporan berikutnya ya!

PS: Oiya, kita belum punya peraturan yang mumpuni lho tentang pencemar udara dalam ruangan – bahkan, level aturan yang menyuruh KLHK/Kemenkes mengedukasi atau memberikan informasi tentang pencemaran udara dalam ruangan. Tanya kenapa, silakan hubungi KLHK.

3. Jika kamu ingin mengukur dampak dari sumber pencemar tertentu, sebaiknya terlebih dulu cari informasi pendahuluan.

Ketika kamu sudah mengetahui kualitas udara di tempatmu, tak dinyanya mungkin kamu mencurigai aktivitas tertentu sebagai penyebab utama tingginya PM 2.5 di tempatmu. Tapi, tunggu dulu, logika berpikirnya tak semudah itu.

Pertama, agar dapat mengukur dengan valid, ada beberapa persyaratan yang harus dipatuhi. Apakah kamu sudah mengukur jauh dari lokasi pembakaran? Kamu yakin kamu menempatkan Si Telur di tempat yang minim debu?
Kedua, apakah kamu sudah tahu sumber-sumber pencemar di sekitarmu? Apakah ada data mengenai perkiraan kontribusi sumber bergerak (misal, kendaraan bermotor) dan sumber tidak bergerak (misal, pabrik)?
Ketiga, apakah kamu memahami perilaku angin dan cuaca di tempatmu? Bertiupnya angin akan sangat mempengaruhi ke mana debu jatuh; dan arah angin ini akan berbeda-beda bergantung musim dan iklim. Selain itu, musim juga berpengaruh – di musim hujan, kemampuan air (dan uap air) untuk “mengencerkan” pencemaran kemungkinan akan menyebabkan hasil pengukuran yang lebih rendah dibandingkan dengan di musim kemarau.
Untuk informasi lebih lanjut, saya juga masih mencari “air pollution investigation for dummies,” atau mungkin perlu ada tim kolaboratif untuk membuatnya ya?

Demikian cerita tentang Si Telur dan tiga kesan utamanya di hati saya dalam beberapa hari ini. Jika kamu ingin menemukan (baca: meminjam) telurmu, coba kontak Greenpeace Indonesia via Twitter/IG.
Selamat mencari udara bersih!

Sunday, February 12, 2017

Pengampunan, Memaafkan dan Pencarian Keadilan


Sumber: http://www.quickmeme.com/meme/3s55lt

“Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.” (Matius 5:38-39)

Tulisan ini bukan tentang agama, atau interpretasi sabda. Tulisan ini adalah kegelisahan tentang bagaimana suatu dogma mengakar, dan mempengaruhi perilaku suatu golongan penganut agama tertentu dalam menuntut keadilan. Buat saya, perilaku umat Kristiani dalam menghadapi intoleransi dan penindasan problematik. Buat gereja, perilaku itu adalah implementasi sabda.

Sebagai seorang yang tumbuh dengan hukum kasih sebagai bagian inti dari pendidikan karakter, saya harus akui bahwa hati kecil saya masih menganggap rangkaian paragraf dalam Matius 5 sangat indah. Matius menuliskan tutur Yesus, “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu,” seperti Allah yang menerbitkan matahari bagi yang jahat dan yang baik serta hujan bagi yang benar dan tidak benar. Katolik, sebagai suatu agama, tumbuh sebagai kumpulan kaum tertindas, dan sangat kental dengan nuansa perlindungan kaum marjinal. Sekalipun sejarah gereja tak lepas dari kesewenang-wenangan, berbagai ordo modern telah memberikan warna keadilan sosial yang kental – bahwa kerajaan surga adalah bagi kaum tertindas; dan bahwa atas ketertindasan itu, hendaklah di dunia engkau penuh pengampunan.

Namun, saya juga anak seorang pengacara, yang sedari kecil biasa mendengar ketukan pintu di tengah malam yang disusul dengan isak tangis ibu-ibu lebam habis dipukuli suaminya. Atau mencuri dengar klien Papa yang menempuh perjalanan 12 jam dalam rombongan besar, ketakutan karena gereja mereka di antah berantah dirusak atau diancam dibubarkan. Jika berkonsultasi dengan gereja, awalnya mereka akan pulang dengan ketabahan serta pengharapan bahwa dengan kasih, Tuhan akan melunakkan hati sang penindas. Adakah cerita sukses? Ada – namun, sebagian besar akan kembali setelah mengalami penindasan yang lebih parah. Sekalipun pola ini berulang, hampir tidak pernah gereja, sebagai institusi, menyarankan umatnya melawan. Apalagi melawan dengan instrumen hukum sebagai pilihan pertama. 

Ada celah yang mengganggu di sini: Jika suatu kelompok mencita-citakan keadilan sosial, tentu mereka memahami ketimpangan sosial. Dalam ketimpangan sosial, kaum marjinal lebih rentan penindasan dan kesewenang-wenangan. Dan hukum dibuat untuk melindungi kaum yang lebih lemah ini dari kesewenang-kewenangan oleh kaum yang lebih kuat – atau umum dikenal, “law as a shield.” Di sisi lain, ketika sikap gereja seolah-olah memisahkan pengampunan dan hukum, seringkali kaum yang lemah justru alpa melihat hukum sebagai alat memperjuangkan hak mereka. Ada karakter hukum yang lain yang dihindari, namun tidak terlibat di sini, “law as a sword” – hukum sebagai alat menyerang.

Keadaan ini semakin nyata ketika dalam momentum intoleransi dan politisasi agama akhir-akhir ini instrumen hukum gencar digunakan. Perihal bagaimana seharusnya gereja merespon penggunaan instrumen hukum pidana dalam politisasi agama ini menimbulkan perbedaan pendapat yang cukup tajam:

Pendekatan pertama, gereja sebagai institusi mengadvokasi “ditampar pipi kiri, berikan pipi kanan” dalam menenangkan umatnya. Tahun lalu, saya mengalami misa Natal di Yogyakarta, dan mendengar kotbah yang kebetulan indah dari Pastor yang memimpin misa. Ia mengajak dalam Natal ini umat Kristiani “Bersyukur bahwa Tuhan boleh dihujat. Bersyukur bisa ikut merasakan Yesus dihujat.” Indah kedengarannya, tapi hal ini bukan tanpa masalah. Masalah utama adalah implikasi doktrin ini terhadap cara umat menyikapi ketidakadilan. Umat yang sudah minoritas, diajari bermental permisif pula. Mungkin dalam perkara keagamaan, ini tidak terlalu kentara. Namun mari kita bayangkan mental permisif ini dalam ketidakadilan lainnya: dalam masalah KDRT seperti ilustrasi di atas, dalam perampasan tanah, penggusuran, fitnah atau bahkan penganiayaan. Dalam kaitannya dengan berbagai ketidakadilan tersebut, kadang, satu-satunya jalur dalam memperjuangkan hak-hak minoritas adalah hukum – bukan pengampunan.

Pendekatan kedua, umat atau perkumpulan umat, utamanya kelompok muda, menggunakan pendekatan “pengampunan dan jalur hukum harus berjalan paralel.” Salah satunya, PMKRI mengajukan laporan pidana atas penistaan agama oleh Habib Riziq. Inipun bukan tanpa kontradiksi, bergantung pada cara pandang kita: Apakah ini mata ganti mata gigi ganti gigi? Ataukah semata kelompok minoritas yang mencari perlindungan melalui hukum?

Saya bersyukur bahwa kelompok yang kedua hadir. Bahwa ketika gereja sebagai institusi, dengan segala kealpaan atau kesengajaannya bersikap diam dan permisif atas nama pengampunan, masih ada individu-individu yang hadir dan mengingatkan bahwa penindasan dan ketidakadilan harus dilawan. Bahwa untuk mencapai keadilan sosial, minoritas tidak bisa permisif – tidak bisa terus diam dan hanya memaafkan. Saya bersyukur suara-suara ini disuarakan juga oleh individu-individu non-Kristen yang kerap mengingatkan, “Di manakah saudara-saudari Kristiani ketika gerejamu dibakar? Mengapa meminta penjagaan dari mayoritas, namun suara kalian tak ada?” – mengutip seorang supir Uber yang kebetulan pegiat toleransi antar umat beragama ketika saya menumpang mobilnya.

Bagi saya, memaafkan dan memperjuangkan keadilan adalah hal yang berbeda. Selama hukum tidak digunakan sebagai pedang, pencari keadilan masih dapat memaafkan dalam tataran individu. Namun tulisan ini tentu tidak akan menjawab atau mengadvokasi bagaimana gereja seharusnya bersikap. Seperti saya katakan di awal, tulisan ini hanyalah ungkapan kegelisahan. Untuk menjawabnya, lebih tepat kiranya teolog atau filsuf yang menuangkan dalam produk pengetahuan, misal, disertasi doktoral Driyakarya. Saya berikan pertanyaan penelitian gratisan untuk Anda: Bilamana pengampunan mengenyampingkan hukum sebagai pertahanan, sebagai alat perlindungan? Dan bilamana pengampunan mengenyampingkan hukum untuk memperjuangkan kebenaran? Tidakkah keduanya, pengampunan dan hukum, dapat berjalan bersamaan?