Wednesday, September 18, 2013

pesan bijak dari ayah zaskia gotik

"T: Apa yang paling membuat Bapak bangga dengan Zaskia?
J: Dia ini tulang punggung keluarga. Kalau sudah ngasih, ndak minta lagi, mau diapakan ya terserah."

Televisi ada di belakang meja kerja saya. Saya berbalik, terdiam sebentar.

Di atas adalah wawancara terhadap ayah dari seorang artis dangdut ibukota. Polos, lucu, anak desa. Di detik ini, saya merinding akan keberuntungan saya. Ketika saya masih sibuk mengejar mimpi, bangkrut tiap bulannya demi pertaruhan ego untuk mencapai apa yang saya percaya sebagai sebuah visi, Papa masih sebangga-bangganya bangga pada saya. Tentu bukan sebagai tulang punggung keluarga - saya tak lebih dari parasit manja yang masih merepotkan. Papa bangga, murni atas nama mimpi dan karakter anaknya yang entah berambisi ke belantara mana.

Betapa mahal di jaman sekarang ini, untuk dihargai sebagai sebuah pribadi.

Sunday, September 15, 2013

Lawyers, I suppose, were children once (Carles Lamb, as quoted in To Kill A Mockingbird)


Di suatu malam pada sebuah acara rakyat di terminal, saya menyelinap menepi dari gerombolan teman-teman. Gerombolan mereka yang berpesta menyanyikan syair perlawanan sepenuh hati, entah kepada siapa:

"Hukum adalah lembah hitam
tak mencerminkan keadilan
Pengacara juri hakim jaksa masih ternilai dengan angka
Uang! 
Hukum telah dikuasai oleh orang orang ber-uang
Hukum adalah permainan 
tuk menjaga kekuasaan"

Dulu kampus saya disebut sebagai kampus rakyat. Tapi memang ibukota selalu terlalu jauh dan terlalu dekat dengan kerakyatan. Ada jarak yang belum terjembatani antara cinta terhadap keilmuan dengan cinta terhadap perjuangan, dan saudara tirinya yang mengintip ragu dari zona nyaman, si cinta terhadap kemapanan. Pun jika mereka bertiga telah senada, ada lagi belukar berduri yang membatasi antara "perasaan keadilan" dengan "kepercayaan akan kepastian hukum". Sementara, sebelum sempat melihat belukar berduri itu, kami terjebak di tengah-tengah, di dalam pagar kampus megah yang 70% anak-anak cemerlangnya terkondisi untuk berambisi mengejar karir cemerlang di hukum bisnis yang substansinya menarik plus menjanjikan untuk penghidupan. Kami terpagari dengan aman dari ketidakadilan.

Toh, syair itu buat kami.

Dalam "Pulanglah Nang", Wiji Thukul menuliskan dengan tepat bagaimana seorang anak kota dipagari dalam istana kenyamanannya dan bagaimana cita-citanya dibentuk. Tutur seorang pembantu untuk anak majikannya, memohon jangan berteman dengan anak-anak kampung dan bermain dengan mainan-mainan kotanya saja. Menyuruh membuat PR dan belajar yang rajin agar nanti menjadi dokter. Puisi sederhana yang sempat semua anak kota alami: bagaimana pembatas itu ada karena hal-hal kecil - ketularan kutu, mainan yang jorok, jajanan yang tidak higienis, kosa kata yang tidak pantas. Dari awal, tindakan orang tua yang paling bijak sekalipun telah terpagari struktur sosial, dan dalam pagar itu kami tumbuh.

Lalu anak-anak inilah yang kemudian memiliki akses terhadap pendidikan yang terbaik - pendidikan dalam arti yang seluas-luasnya. Sekolah formal yang terbaik, pengasahan kemampuan analisa dan struktur berpikir yang terbaik, teman-teman dan inspirasi terbaik, kompetisi terbaik, bacaan-bacaan terbaik, fasilitas terbaik, falsafah dan etos kerja terbaik. Di sini, saya bicara mengenai akses - kesempatan. Apakah kemudian mereka jadi yang terbaik memang ditentukan berbagai faktor lainnya, tetapi ada kondisi bahwa akses yang dimiliki oleh orang-orang dari struktur sosial yang lebih rendah akan mensyaratkan sebuah usaha yang lebih keras dan keberuntungan yang lebih agar dapat menyamai baseline akses tersebut. Ketika pendidikan formal di SMA selesai, maka dunia kampus menyambut - dan sekolah-sekolah terbaik menuntut anak-anak dengan kemampuan terbaik, termasuk pula kampus hukum. Alhasil, mayoritas penikmat bangku kuliah hukum di universitas-universitas terbaik berasal dari kalangan borjuis.

Di kampus, anak-anak ini mulai bertemu dengan berbagai kesempatan melihat dunia luas dan hukum dalam penerapan yang sesungguhnya. Namun kami melihat, mengamati, mengobservasi, bukan merasakan. Atau jika kami punya kesempatan merasakan, kami tidak benar-benar bisa menjadi bagian. Ada selaput yang begitu sulit tertembus ketika sudah berbicara tentang kelas, hal-hal kecil itu - gangguan genit ketika kami memberikan nomor HP ke masyarakat, jarak bahasa dan edukasi yang begitu jauh, penolakan, ketidakpercayaan terhadap hukum, dimintai uang oleh mereka yang ingin kami bantu, korupsi dan birokrasi yang berbelit-belit. Semua yang memupuskan kami, ketika sebagian kecil keadilan sebenarnya berbicara tentang kesetaraan kelas, justru kami sibuk memagari diri dari kelas yang berbeda. Kami menjadi semakin pintar dalam konteks norma dan konsep, tetapi tumpul dalam visi dan mimpi. Di sisi lain, LSM dan pemerintah kalah agresif dari lawfirm dan korporasi dalam memfasilitasi workshop, sehingga visi kami terbentur mimpi-mimpi ambisius karir gemilang yang terfasilitasi dengan sempurna semasa kuliah. Cita-cita negara sudah terlalu jauh, dan kami mulai memilah batas aman - menyingkirkan dari cita-cita aparatur negara yang sudah terlalu korup, dan LSM yang terlalu beresiko untuk kenyamanan pribadi dan terlalu sibuk untuk menyadari bahwa ada jiwa-jiwa naif yang masih melirik.

Jadi anda bisa membayangkan, betapa sesaknya saya di malam itu ketika mendengarkan syair anda. Syair buat kelas saya dari kelas anda. Ungkapan yang jujur dari awam hukum bagi praktisi hukum. Yang anda bawakan dengan semangat membara, yang disambut fans-fans anda dengan nyanyian syair yang telah mereka hafal di luar kepala. Telah terdoktrinasi dan dipercaya, ketika saya masih mati-matian mencari pembenaran praktis atas dongeng-dongeng masa kecil dari ayah saya, dosen saya, buku-buku teks saya, tentang hukum dan keadilan.

Saya tidak menulis ini sebagai pledoi. Saya hanya berusaha melihat jembatan yang tidak kelihatan itu dari sisi yang seobjektif mungkin. Mungkin sebagai permintaan maaf kepada diri saya sendiri atas keterbatasan keberanian saya untuk terjun total dalam mewujudkan mimpi akan keadilan bagi the least disadvantaged people, seperti kata Rawls - yang entah bagaimana cara idealnya. Mungkin merayakan patah hati yang sudah berkali-kali menyerang namun masih gagal membungkam semangat naif dan keyakinan pribadi dalam seretan langkah setengah-setengah sebuah misi membela mereka yang terpinggirkan.

Wednesday, September 4, 2013


“One of the penalties of an ecological education is that one lives alone in a world of wounds. Much of the damage inflicted on land is quite invisible to laymen. An ecologist must either harden his shell and make believe that the consequences of science are none of his business, or he must be the doctor who sees the marks of death in a community that believes itself well and does not want to be told otherwise.” 

Sunday, September 1, 2013

Speech on Farewell FHUI, Wisuda Genap 2012


Setahun lalu saya menulis kata-kata ini untuk sebuah acara seremonial kampus: kelulusan. Setahun lalu saya menangis ketika berlatih membacanya, dan betul-betul harus menahan emosi saat menyampaikannya di mimbar. Sekarang, ketika saya tiba-tiba menemukannya di antara file-file berantakan di telepon genggam, saya mendapatkan kesempatan berkaca.

Untuk Makara Merah.


Teman-teman terkasih,

Empat tahun di FHUI merupakan empat tahun terbaik dalam hidup saya. Dan mengenal, belajar dari tiap-tiap dari kalian adalah berkat yg paling saya syukuri sampai hari ini.

Di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, saya berada dalam sebuah sistem di mana semua komponennya mendukung seorang manusia untuk mengembangkan potensi yang ada; terutama dengan kesempatan untuk bertemu dengan manusia-manusia lain yg begitu mengagumkan. Sekalipun tidak terlepas dari kekurangan, sebenarnya di sinilah tempat di mana kami merasa hangat, aman dan bebas. FHUI, selama beberapa tahun ini, telah menjadi rumah kedua kami.

Akan ada banyak hal yang kami rindukan dari kampus ini, dan pada kesempatan ini kami semua para wisudawan ingin mengucapkan terima kasih dan rasa syukur yg sedalam-dalamnya.

Pertama, kepada orang tua dan keluarga kami masing-masing. Jika ada satu waktu di mana kami bisa membuat kalian bangga, banggalah pada kami saat ini. Membiarkan dan mendukung kami kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia adalah kesempatan terbaik yang telah kalian berikan, dan kami berharap kalian bahagia di hari ini melihat putra putri kecilnya sudah siap terbang ke dunia luas.

Kedua, kepada para guru besar, dosen dan seluruh jajaran staff pengajar dan administratif, dengan keunikannya masing-masing, yang membagikan ilmu dan mengasah pola analisis kami dari logika yg berantakan hingga memiliki cara berpikir yang ilmiah dan terstruktur. Di sini kami mendapatkan kesempatan bertatap muka dengan orang-orang hebat, orang-orang mulia yg menyisakan waktunya untuk melayani anak-anak muda yg penasaran ini. Dan yang paling mengesankan, para dosen ini bisa sangat dekat dengan mahasiswa, berdiskusi di kantin, nge-band bareng (seperti alm. Prof. Syafri), terbuka menerima pertanyaan bahkan melalui jaringan pribadi, serta terus mendorong anak-anaknya untuk menjadi manusia yg sesungguhnya.

Ketiga, seluruh living support system di sekitar FHUI. Kami akan merindukan Barel, kantin, stasiun, kos-kosan, dan semua kemudahan yang diberikannya dengan harga yang menyenangkan. Inilah bagian kehidupan kami sehari-hari, dan tanpa sistem ini kami cuma domba-domba hilang yang bingung dimana akan nongkrong, mencari bahan studi, makan, ataupun tidur.

Dan keempat, serta yang paling spesial, adalah teman-teman semua yang dengan segenap hati saya sayangi. Peer group-peer group yang memberikan warna dalam pergaulan FHUI. Individu-individu paling unik, ngaco, aneh, bandel, tapi juga cerdas, tajam, kritis, pekerja keras, tangguh. Wahai para orang tua, bersama orang-orang seperti inilah anak anda bergaul dan ditempa selama 4 tahun, dan saya dengan bangga mengatakan bahwa dari setiap orang di ruangan ini saya telah terinspirasi begitu banyak. Terima kasih atas waktu-waktu yang kita lalui bersama, candaan-candaan absurd yg tidak pernah habis, waktu-waktu pencarian hiburan yang membingungkan, curhat-curhat galau mulai dari galau maba sampai jadi galau pekerjaan, motivasi dan dukungan, kebersamaan dalam menghadapi tugas kuliah di saat-saat terkejamnya dan mengisi waktu kosong disaat-saat ter'gabut' kita. Saya akan merindukan masa-masa ini, dan kenyamanan inilah yang membuat saya rasanya 'kok ya maleees banget mau lulus'...

Saya masih ingat 4 tahun lalu yang saya lihat adalah wajah-wajah yang tertantang, excited, agak-agak takut tapi penasaran untuk merasakan dunia kampus. Dan sekarang saya melihat kembali ekspresi-ekspresi itu. Kita akan segera memasuki dunia kerja, dnia nyata, kalau kata orang. Wisuda ini hanya sebuah awal dari perjalanan hidup kita. Idealisme kita akan diuji. Teori-teori akan menemui aplikasi riil. Uang bulanan dari orangtua tidak akan jadi pemasukan utama lagi, atau malah tidak sama sekali.

Dunia di depan begitu mendebarkan, kita semua agak takut, tapi untuk itulah kita selama 4 tahun ini ditempa. Indonesia memberikan kita begitu banyak PR, dan sekarang ini adalah kewajiban kita untuk memilih jalan masing" dalam membangun bangsa terutama dlm bidang hukum. Saya yakin kita semua dalam ruangan ini punya satu harapan sama, agar jurist-jurist FHUI yang diluluskan pada hari ini dapat memberikan kontribusi positif bagi Indonesia pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya. 

Jangan lupakan masa-masa naif kita ini; idealisme, diskusi-diskusi, kritik-kritik yg pernah kita lontarkan bagi negara atau aparaturnya, sekaranglah saatnya kita wujudkan.

Dan mengingat bahwa kalian adalah orang-orang istimewa, besar harapan saya semua bahwa tali silaturahmi kita tetap terjaga. Antar mahasiswa, dosen, dan segenap unsur di FHUI. Tetap ingat bahwa kita menyandang nama besar FHUI, maka jagalah perilaku kita dgn baik. Selain itu juga doakan dan support teman-teman kita yang belum lulus, agar menikmati tahun-tahun ternikmat di FHUI sebaik mungkin dan segera menyusul lulus.

Sebelum mengakhiri celotehan ini, saya ingin mengajak teman-teman untuk berdiri menggaungkan yel-yel yg dl kita gaungkan berkali-kali di auditorium ini saat kita menjadi Mahasiswa Baru FHUI.

Lalu yel-yel favorit saya bergaung diiringi hentak kaki seratus delapan puluhan wisudawan di waktu itu:

"We gotta go, go, hukum go!
We gotta fight, fight, hukum fight!
We gotta win, win, hukum win!
Go, go! Fight, fight! Win, Win! Yes!"

Terima kasih, selamat menjadi cahaya bangsa!