Wednesday, August 16, 2017

Tujuh Puluh Dua



Aku tahu akan canggung menulis tentangmu dalam bahasa ini, Indonesia. Karena aku akan menulis begitu banyak perasaan: cinta dan pedih; dan kau tahu bahwa kita enggan menggunakan bahasa pertama untuk bicara perasaan.

Engkau ada di punggungku, satu-satunya cinderamata permanen di kulitku agar aku selalu ingat bahwa aku menyokongmu. Engkau di hatiku, di karirku. Dalam gugatan-gugatanku yang kesannya membencimu. Dan memang kadang aku gemas akan tingkahmu. Tapi bagaimana bisa aku membencimu, jika orang-orang yang kau tindas bahkan masih begitu sayang padamu?

Tahukah kau, Indonesia? Engkau juga ada di rumah-rumah kumuh. Engkau harapan sawah dan ladang yang kau jarah jadi pabrik, di hutan yang kau obral konsesinya. Namamu bergema di bukit-bukit dan mata air gua karst yang kau tambang atas nama pembangunan. Di kampung-kampung miskin yang tak terjamah infrastruktur. Mereka yang justru paling girang gembira memestakanmu dengan balap karung, panjat pinang, dan semua mainan sederhana itu – yang kerap kau anggap kutil di lubang pantatmu. Engkau ada di hati mereka, janji kemerdekaanmu telah didengungkan kepada anak-anak mereka.

Indonesia, ini hari kemerdekaan tersedih dalam hidupku. 

Kenapa kau pinggirkan lagi anak-anak Ibu Pertiwi yang paling setia, paling sederhana, paling sedikit menyumbang kehancuranmu? Orang-orang yang telah melawan dengan sehormat-hormatnya, dalam semua keterbatasan mereka? Memang tak mudah menemukan makna dalam kata berbunga-bunga dan rentetan birokrasi yang menggila, tapi fakta tak bisa dibuat dari bias satu pihak saja.

Mungkin aku hanya terkejut karena kau merampas mainan kesukaanku. Atau karena kau akhirnya berhasil menggilas idolaku. Atau aku hanya merasa gagal karena aku tak pernah mampu mengerahkan seluruh kemampuanku untuk membantumu menalar argumen-argumen rumit yang disajikan di depanmu.

Hari ini aku merayakan perjuangan, Indonesia. Perjuangan dari jajahan bangsaku sendiri. Bersama tentara-tentara yang masih bertahan. Kami patah. Kami tumbuh. Kendeng tidak hilang. Ia membangkitkan Ibu Pertiwi di jiwa-jiwa kami, menyuburkan bibit-bibit yang akan meneruskan perjuangan ini.

Jakarta, 17 Agustus 2017. Dibuat dalam balutan penyesalan dan kesedihan, sebuah solidaritas untuk teman-teman Kendeng, yang perjuangannya telah menginspirasi begitu banyak pegiat lingkungan tanah air. Maafkan kami, Ibu Pertiwi.