Wednesday, October 26, 2011

a letter for greedy me

Dear Greedy,

Everytime you feel insecure of your boring future for working with office routine, think about that man who's in his late 50 still walking around your campus, selling one basket of chinese pao from morning till night. Or mid-age sekuteng seller who's still around till dawn, or librarian who do their more-boring routine for inputting data for book circulation, 6 days a week.

They do it everyday, and they have to work everyday just for living.

When you demand of more holiday and craving for your taken freedom, look at those tramp and beggars who have 24 hours holiday and no obligation to do. You don't want to be them.

They're so free yet they want certainty and prosperity you possess so bad.

When you scared of your future and feel like want to stay in present forever, remember that time is keep running. Remember that you were born and raised to be prepared in facing future. Remember you have mother and father who'll soon entitled for your protection. Remember that you'll have  children, too, and you'll see the present you're wanting to preserve in their life, see the same tremble of facing future.

And while you're already there and looking back to your past, don't compare your life to other, you have no idea what their journey is all about.

Sunday, October 16, 2011

Lupakan Kami di Nusantara!


“Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu” –UUD 1945 pasal 31 dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Kalimat itu terngiang-ngiang di telingaku saat kupandangi makhluk mungil di depanku ini. Tubuhnya lumpuh di seluruh bagian bawah dan sebelah kanan atas, menyebabkannya berjalan dengan pantatnya yang tak bercelana; dengan ditopang tangan kirinya yang kapalan karena seumur hidup dipakai menyeret dan menyangga seluruh berat tubuhnya ketika bergerak ataupun diam. Ia tampak dekil dan kotor, seperti gelandangan ibukota tapi sedikit lebih memprihatinkan dengan liur yang tak berhenti menetes dari mulutnya. Umurnya tak lebih dari tujuh tahun, diingat orang-orang sekitarnya walaupun tiada akta kelahiran ataupun surat dokter sebagai penanda tanggal lahirnya.
“Halo, namamu siapa?” sapaku dengan ulasan senyum termanis sambil mengulurkan tangan, hati-hati agar tak membuatnya takut. Ia mengulurkan tangan kirinya, tersenyum malu-malu sambil bergumam tak jelas. Dari belakang punggungku kudengar orang ramai berceletukan dalam bahasa yang tidak kumengerti, sepertinya menerjemahkan perkataanku.
Ia tak bisa bahasa Indonesia. Baiklah, tugasku tampaknya berat.
Ngara moai[1]?” tanyaku lagi.
“Ngaji,” jawabnya sambil tertawa kegirangan sendiri. Meskipun pelafalannya tak jelas, dapat kutangkap namanya yang khas pulau ini. Lagipula sebenarnya aku tak benar-benar tidak tahu namanya; ia ada dalam data assessment-ku.
Ialah Ngaji, calon muridku sebulan ke depan, bocah yang menurut nalar kesoktahuanku kuperkirakan menderita cereberal palsy. Ialah Ngaji, bocah tak beruntung yang aku, calon gurunya, alih-alih tenaga profesional yang berlatar belakang pendidikan atau psikologi, malahan seorang mahasiswa hukum yang bermodalkan dua jilid buku yang kubaca kilat dan riset seadanya tentang anak berkebutuhan khusus sekitar seminggu sebelum datang ke pulau ini. Dan diantara aku dan ia, ada pulau ini. Si satu diantara tujuh belas ribu yang jadi sasaran Kuliah Kerja Nyata universitasku tercinta. Si empat puluh satu kilometer persegi daratan mungil yang terpisah empat jam perjalanan laut dari kota kecil Maumere. Pulau yang tak ada di peta, yang listriknya menyala hanya pada jam enam sampai sepuluh malam, yang keterbatasan sinyalnya membuat siapapun yang mau menelepon harus turun dari gunung ke pantai. Palu’e, bumi Rokatenda, orang menyebutnya.
Kulaksanakan ritual assessment-ku dengan cepat, menanyakan pertanyaan pada yang bisa menjawab dan melakukan serangkaian tes sederhana untuk mengenali keadaan awal calon muridku ini. Bagaimanapun masih terlalu banyak calon murid lain untuk di-asses; tiga puluh tiga anak berkebutuhan khusus dalam satu desa bukan jumlah yang tidak membuatku terbelalak. Ada delapan desa di pulau ini. Dan lebih mengenaskan lagi, pulau ini tak punya Sekolah Luar Biasa, yang artinya anak-anak cacat ini tak kenal pendidikan. Tapi aku menyukai Ngaji; ia beruntung segera kupilih jadi muridku. Ia akan segera mengenal sedikit pendidikan, walaupun mungkin sebatas huruf dan angka yang belum tentu pula terselesaikan dalam satu bulan masa tugasku di sini.

 ***

“Eeee, untuk apa, Nona. Saya masih tak bisa mengerti. Dia itu bodoh sekali, kamu ajari sedikit lama sekali tangkapnya. Kamu pulang ke Jakarta, lupa semua mereka punya pelajaran,” mengomel nenek Ngaji sementara aku mengajari anaknya huruf AIUEO. Agak tak nyaman aku karena ia berjongkok sedangkan aku duduk di kursi. Namun beginilah kebiasaannya, tak akan diperbolehkan aku ikut berjongkok.
“Tentu bisa, nek. Tidak ada itu orang yang bodoh, yang ada kebutuhannya dan kecerdasannya berbeda-beda, jadi cara mengajarinya juga berbeda. Lagipula, Ngaji semangat sekali belajar, sayang sekali kan dia tidak punya kesempatan mengenal huruf dan angka selama ini. Dia nanti bisa baca, bisa lihat dunia dari buku-buku,” kusahut sambil tersenyum. Si nenek tak pernah mengajari Ngaji, aku tahu itu. Tak pernah ada yang mencoba mengajari Ngaji. Tak pernah.
“Tidak akan bisa dia, Nona. Kadang saya kesal, Nona, sama Tuhan. Buat apa dia kasih lahir anak seperti ini. Mamanya juga tak mau rawat dia, dia tinggal kerja di Malaysia dikasihkan saja ke saya. Ini anak kerja juga tidak bisa, makan banyak, jadi beban saja,”
Kupandangi nenek ini. Tidak, ia tidak mengerti bahagianya mengenal pendidikan, takkan sempat ia bahkan untuk mengangankannya. Ia tidak merasakan betapa menagihnya menggali ilmu, mengikuti rangkaian perdebatan akademisi dan melahap jurnal dari satu peradaban ke peradaban lainnya, meniti perdebatan demi perdebatan. Mungkin, ia bahkan tidak merasakan manfaatnya mengenal huruf dan angka. Ia mencangkul, hidup dari kebunnya sendiri. Ia memelihara ayam dan babi, memotongnya kalau sudah gemuk atau saat ada pesta. Wanita begitu sibuk di pulau ini; mencuci, memasak, berkebun, beternak, menenun, bahkan jika perlu memanjat pohon kelapa. De facto, memang tak ada yang sempat mengurus Ngaji, apalagi mendidiknya. Apa yang kusebut hasrat belajar termentahkan bagi anak-anak cacat di sini.
Kupandangi Ngaji, mengingat teori kesejahteraan sosial yang diajarkan di kuliah. Apakah ada seseorang di pulau ini yang perduli untuk mendidik mereka, jika seluruh perhatian mereka tercurahkan untuk menghidupi diri sehari-hari? Mungkin mimpi kami tentang bocah-bocah cacat ini berjarak puluhan tahun dari mimpi pulau ini.
“Di kota mereka diajari dengan baik, Nek...” ucapku lirih, mengawasi Ngaji yang asyik meniru guratan huruf AIUEO-ku tanpa mengerti pelafalan dari huruf-huruf yang sedang ditirunya.
“O ya? Ada yang mau mengajari?” terbelalaklah si Nenek.
Aku memandangnya miris, mengerti betul sudut pandangnya. “Ada. Tapi mereka bayar mahal, Nek,”
“Tapi mereka bisa ajari anak-anak ini?”
“Bisa. Yang mengajar bukan mahasiswa payah seperti saya, Nek. Yang mengajar guru khusus, profesional, yah orang yang khusus belajar untuk pendidikan anak-anak seperti Ngaji lah, Nek,” kewalahan aku mencari kata-kata sederhana untuk menggambarkan ‘profesional’.
“Oho, khusus belajar untuk mengajari anak cacat? Ada yang belajar seperti itu?” makin terkejutlah si nenek. Aku tertawa, lucu sekali kepolosan nenek ini; mungkin takkan kutemukan di Jakarta.
“Iya. Disebutnya Sekolah Luar Biasa, kelasnya dibagi-bagi sesuai cacat. Gurunya yang betul-betul cakap. Anak-anak yang buta, bisu-tuli, cacat mental, idiot, atau juga yang seperti Ngaji ini, mereka semua belajar pelajaran sesuai kurikulum yang ditentukan, seperti anak sekolah biasa itu, Nek.” Meskipun agak tak enak aku menyebut cacat-cacat itu, aku tahu tak akan bisa aku menggunakan istilah tuna-tunaan dengan si nenek. Dan lagi-lagi aku kelabakan mencari padanan kata ‘kurikulum’.
“Di Maumere juga ada, di sana Susteran yang urus. SLB juga ada di Maumere,” tambahku.
“Kenapa tidak ada di sini? Jauh itu, siapa mau urus dia di Maumere,” keluhnya redup. Tapi sebentar kemudian matanya bersinar,
“Jadi Ngaji ini bisa pintar? Ah bercanda kamu? Lihat kamu ajar huruf lima itu saja tak bisa-bisa dia dari kemarin,”
Aku tertawa lagi, hampir putus asaku mengajarnya AIUEO. “Nenek lihat saja, waktu saya datang dia tidak tahu apa-apa. Nanti waktu saya pulang sudah kenal huruf dan angka si Ngaji ini,”
“Heeee waiyeee!” seru si nenek lalu berlalu memberi makan babi.
Aku tertawa lagi mendengar celetukannya. Tapi aku bersungguh-sungguh. Akan kubuktikan pada orang-orang di pulau ini bahwa anak-anak seperti Ngaji bisa belajar, dan mereka memang berhak untuk belajar. Satu bulan kami di sini mungkin hanya bisa mengenalkan sedikit huruf, tapi seumur hidup anak-anak ini terlalu sia-sia dihabiskan tanpa kenal pendidikan karena sesungguhnya mereka mampu belajar ribuan kali lipat daripada sekedar huruf. Kuingat lagi pasal 31 UUD 1945, bekalku dari Fakultas Hukum, hak konstusional warga negara yang melandasi semangatku di sini. Ya, pasal itu masih nol besar di pulau ini. Setiap warga negara belum mencakup anak-anak cacat ini.
***

“Sudah ada wacana memang. Tapi belum kita masukkan dalam RPJM. Belum terpikir secara luas, Nona, masyarakat masih lebih memprioritaskan agenda-agenda lain. Saya sendirian mewacanakan ini. Lagipula, susah sekali mengubah cara pandang mereka itu,” di balai bambu rumah Bapak Kepala Desa kami berbincang.
“Umpan balik dari Pemda lama, sulit sekali memasukkan pos seperti ini. Sama yang di atas belum tentu tidak dipersulit. Alokasi APBD untuk pendidikan juga hanya 20%, pendidikan normal saja terseok-seok. Mana Nona tahu sendiri ini provinsi banyak sekali masalah seleweng-seleweng,” Aku cukup mengenal perilaku birokrat seperti ini. Semuanya mentok di wacana, eksekusinya lambat sekali. Bahkan surat pun bisa jadi penghalang. Dana pendidikan sampai bantuan sosial, selama kepentingan menghendaki takkan haram buat diselewengkan.
“Tapi menurut saya penting sekali itu SLB di Pulau ini. Selama ini fenomena ini ada, tapi masyarakat tidak sadar. Dengan adik-adik datang kemari jauh-jauh dari Jakarta untuk ajari anak-anak yang mereka bilang bodoh, masyarakat mulai mengerti,” aku memandang Bapak Kades, membayangkan sekian ratus kepala desa lainnya di pulau-pulau terpencil atau pedesaan yang menghadapi masalah yang sama. Ribuan anak cacat yang tak terbayangkan oleh mereka yang di kota.
“Selama ini guru-guru terima saja anak-anak itu di sekolah biasa. Sampai mereka tidak bisa ikuti lagi, baru diminta keluar. Tapi ada guru yang jijik, misalnya si Ngaji itu, liurnya keluar terus. Saya minta betul-betul supaya dia diterima sekolah, tapi guru-guru tidak mau terima dia, takut anak lainnya jijik sama liur dan baunya,” aku menerawang. Tidak hanya Ngaji. Mereka yang epilepsi bahkan tidak bisa sekolah di sini. Apalagi yang buta, bisu-tuli. Berapa tahun lagi akan terus begini?

***
Berakhir sudah satu bulan kami di pulau ini. Hari-hari yang penuh bau khas anak-anak didik kami akan segera menjadi hari yang kami rindukan. Kegiatan kami kian tersebar dari mulut ke mulut, terbawa angin sampai ke desa-desa lain yang hanya bisa dicapai perahu motor. Berbeda sudah cara masyarakat memperlakukan bocah-bocah itu, meskipun aku tetap tak yakin sepulang kami akan ada yang meneruskan mengajar mereka.
“Nona, tidak bisa saya percaya Ngaji bisa tahu angka 1-200? Bisa dia tahu A-Z? Benar itu, Nona?” menghamburlah nenek Ngaji selepas presentasi kami di depan masyarakat pulau.
“Coba, Ngaji, tunjukkan sama Nenek,” kuperintahkan bocah tujuh tahun yang sedang berada dalam rangkulanku itu.
“A, B, C, D, E, F, G, H, I, J, ... J, ...” Ia terhenti. Aku tertawa. Ia tidak ingat lagi seterusnya. Kerja keras setengah mati aku membuatnya ingat sepuluh huruf itu. Jika ditulis, ia bisa ingat. Tapi tidak untuk melafalkan. Sedikit air mataku menggenang mengingat betapa nolnya ia saat pertama dan bagaimana ia selalu bersemangat di tiap pertemuan, walaupun ribuan kali kami mengulangi hal yang sama. Kuingat pula betapa pontang pantingnya kami dengan fasilitas terbatas di pulau kecil ini dan pengetahuan sekedar mahasiswa bodoh, ketika aku dan tim-ku berusaha menggali metode yang tepat buat bocah-bocah ini. Ya, tidak seperti di kota, tidak semudah itu di sini, pun jika benar-benar suatu hari ada SLB. Namun melihat masyarakat yang begitu antusias, begitu haru biru dengan hasil yang dicapai anak-anak yang mereka sebut cacat dan bodoh ini, sedikit banyak aku terhibur. Apalagi melihat sang nenek yang berkaca-kaca ketika kutitipkan modul pembelajaran dan analisa tertulis kondisi Ngaji. Hanya keluarga dan teman-temanlah harapan satu-satunya untuk meneruskan pendidikan bagi anak-anak ini. Berharap pada pemerintah bukannya tabu, hanya saja mungkin akan sia-sia dalam waktu dekat. Kuciumi Ngaji, berharap selepas kepulangan kami ia akan dapat terus belajar. Menghayalkan ia dapat membaca dan menulis, membalas suratku suatu hari nanti. Membayangkan si lumpuh-idiot-berliur menemukan bidangnya dimana ia benar-benar bergairah untuk menghabiskan hidupnya menekuni hal tersebut.
Dari kejauhan, Bapak Kades bersama Bapak Bupati berjalan ke arahku, senyum merekah di wajahnya, “Nona, sungguh kami terkesan dengan program ini. Semua masyarakat terkesan. Tadi saya bincang-bincang dengan Bapak Kades dan Bapak Camat, tentang SLB akan segera kami bahas dan moga-moga untuk RPJM selanjutnya dapat segera kami alokasikan,” manis sekali kata-kata Bupati ini.
“Dan dari desa sendiri, kita akan buat program Pendidikan dan Pelayanan Khusus untuk adik-adik berkebutuhan khusus ini. Semoga ini bisa jadi percontohan untuk desa-desa lainnya. Kita nanti bincang-bincang dulu ya untuk transfer pengetahuan. Mungkin sekali kami akan pakai cara adik-adik,” imbuh Bapak Kades.
Senyumku merekah, mataku membasah. Harapanku sebesar planet Jupiter yang bengkak karena memuai. Naif, khas anak muda.

***
Delapan tahun sudah aku meninggalkan Palu’e, dan kini aku kembali. Pulau ini tetap terpencil, tetap hanya punya sinyal di pantai dan kekurangan air. Delapan tahun aku hanya berhubungan dengan segelintir orang, sekedar menanyakan kabar; namun tidak berkomunikasi dengan anak didikku. Ngaji adalah orang pertama yang kucari begitu aku sampai di sana.
Dan ia adalah yang pertama mematahkan hatiku...
Sosok pemuda pendek, lumpuh dan kotor; berjalan dengan menyeret pantatnya yang tak bercelana dengan tangan kirinya yang kapalan, tak digubris orang, gagu dan berliur. Ia masih tak bisa bahasa Indonesia dan masih suka tertawa sendiri. Ketika aku menyapanya, aku masih mengharapkan ada kejutan kecil; sosok intelektual yang penuh pengetahuan di balik penampilannya yang menggelandang. Tapi tidak, ia tetap berjarak puluhan tahun dari mimpiku, tetap menggapai-gapai nikmat pengetahuan tanpa bisa menyentuhnya, kembali ke nol sebelum ia kutemukan.
Aku terlalu muda dan naif dulu, hingga begitu pedih hatiku sekarang. Sepulang kami, pulau ini kembali mati. Janji Kades, Camat, maupun Bupati tak pernah terwujud, kandas seiring bergantinya tampuk kekuasaan. SLB tak pernah ada, juga Pendidikan dan Pelayanan Khusus. Pasal 31 UUD 1945 tetap nol besar selama delapan tahun, setidaknya di sini, di pulau ini, yang hanya satu di antara tujuh belas ribu...


[1] Ngara moai adalah bahasa Palu’e dari “Namamu siapa?”