“Setiap
warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”
–UUD 1945 pasal 31 dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Kalimat itu terngiang-ngiang di
telingaku saat kupandangi makhluk mungil di depanku ini. Tubuhnya lumpuh di
seluruh bagian bawah dan sebelah kanan atas, menyebabkannya berjalan dengan
pantatnya yang tak bercelana; dengan ditopang tangan kirinya yang kapalan
karena seumur hidup dipakai menyeret dan menyangga seluruh berat tubuhnya
ketika bergerak ataupun diam. Ia tampak dekil dan kotor, seperti gelandangan
ibukota tapi sedikit lebih memprihatinkan dengan liur yang tak berhenti menetes
dari mulutnya. Umurnya tak lebih dari tujuh tahun, diingat orang-orang
sekitarnya walaupun tiada akta kelahiran ataupun surat dokter sebagai penanda
tanggal lahirnya.
“Halo, namamu siapa?” sapaku
dengan ulasan senyum termanis sambil mengulurkan tangan, hati-hati agar tak
membuatnya takut. Ia mengulurkan tangan kirinya, tersenyum malu-malu sambil
bergumam tak jelas. Dari belakang punggungku kudengar orang ramai berceletukan
dalam bahasa yang tidak kumengerti, sepertinya menerjemahkan perkataanku.
Ia
tak bisa bahasa Indonesia. Baiklah,
tugasku tampaknya berat.
“Ngara moai[1]?”
tanyaku lagi.
“Ngaji,” jawabnya sambil
tertawa kegirangan sendiri. Meskipun pelafalannya tak jelas, dapat kutangkap
namanya yang khas pulau ini. Lagipula sebenarnya aku tak benar-benar tidak tahu
namanya; ia ada dalam data assessment-ku.
Ialah Ngaji, calon muridku
sebulan ke depan, bocah yang menurut nalar kesoktahuanku kuperkirakan menderita
cereberal palsy. Ialah Ngaji, bocah
tak beruntung yang aku, calon gurunya, alih-alih tenaga profesional yang
berlatar belakang pendidikan atau psikologi, malahan seorang mahasiswa hukum
yang bermodalkan dua jilid buku yang kubaca kilat dan riset seadanya tentang
anak berkebutuhan khusus sekitar seminggu sebelum datang ke pulau ini. Dan diantara aku dan ia, ada pulau ini.
Si satu diantara tujuh belas ribu yang jadi sasaran Kuliah Kerja Nyata
universitasku tercinta. Si empat puluh satu kilometer persegi daratan mungil
yang terpisah empat jam perjalanan laut dari kota kecil Maumere. Pulau yang tak
ada di peta, yang listriknya menyala hanya pada jam enam sampai sepuluh malam,
yang keterbatasan sinyalnya membuat siapapun yang mau menelepon harus turun
dari gunung ke pantai. Palu’e, bumi Rokatenda, orang menyebutnya.
Kulaksanakan ritual assessment-ku dengan cepat, menanyakan
pertanyaan pada yang bisa menjawab dan melakukan serangkaian tes sederhana
untuk mengenali keadaan awal calon muridku ini. Bagaimanapun masih terlalu
banyak calon murid lain untuk di-asses;
tiga puluh tiga anak berkebutuhan khusus dalam satu desa bukan jumlah yang
tidak membuatku terbelalak. Ada delapan desa di pulau ini. Dan lebih mengenaskan
lagi, pulau ini tak punya Sekolah Luar Biasa, yang artinya anak-anak cacat ini
tak kenal pendidikan. Tapi aku menyukai Ngaji; ia beruntung segera kupilih jadi
muridku. Ia akan segera mengenal sedikit pendidikan, walaupun mungkin sebatas
huruf dan angka yang belum tentu pula terselesaikan dalam satu bulan masa
tugasku di sini.
***
“Eeee, untuk apa, Nona. Saya
masih tak bisa mengerti. Dia itu bodoh sekali, kamu ajari sedikit lama sekali
tangkapnya. Kamu pulang ke Jakarta, lupa semua mereka punya pelajaran,” mengomel
nenek Ngaji sementara aku mengajari anaknya huruf AIUEO. Agak tak nyaman aku
karena ia berjongkok sedangkan aku duduk di kursi. Namun beginilah
kebiasaannya, tak akan diperbolehkan aku ikut berjongkok.
“Tentu bisa, nek. Tidak ada itu
orang yang bodoh, yang ada kebutuhannya dan kecerdasannya berbeda-beda, jadi
cara mengajarinya juga berbeda. Lagipula, Ngaji semangat sekali belajar, sayang
sekali kan dia tidak punya kesempatan mengenal huruf dan angka selama ini. Dia
nanti bisa baca, bisa lihat dunia dari buku-buku,” kusahut sambil tersenyum. Si
nenek tak pernah mengajari Ngaji, aku tahu itu. Tak pernah ada yang mencoba
mengajari Ngaji. Tak pernah.
“Tidak akan bisa dia, Nona. Kadang
saya kesal, Nona, sama Tuhan. Buat apa dia kasih lahir anak seperti ini.
Mamanya juga tak mau rawat dia, dia tinggal kerja di Malaysia dikasihkan saja
ke saya. Ini anak kerja juga tidak bisa, makan banyak, jadi beban saja,”
Kupandangi nenek ini. Tidak, ia
tidak mengerti bahagianya mengenal pendidikan, takkan sempat ia bahkan untuk
mengangankannya. Ia tidak merasakan betapa menagihnya menggali ilmu, mengikuti
rangkaian perdebatan akademisi dan melahap jurnal dari satu peradaban ke
peradaban lainnya, meniti perdebatan demi perdebatan. Mungkin, ia bahkan tidak
merasakan manfaatnya mengenal huruf dan angka. Ia mencangkul, hidup dari
kebunnya sendiri. Ia memelihara ayam dan babi, memotongnya kalau sudah gemuk
atau saat ada pesta. Wanita begitu sibuk di pulau ini; mencuci, memasak,
berkebun, beternak, menenun, bahkan jika perlu memanjat pohon kelapa. De facto, memang tak ada yang sempat
mengurus Ngaji, apalagi mendidiknya. Apa yang kusebut hasrat belajar
termentahkan bagi anak-anak cacat di sini.
Kupandangi Ngaji, mengingat
teori kesejahteraan sosial yang diajarkan di kuliah. Apakah ada seseorang di
pulau ini yang perduli untuk mendidik mereka, jika seluruh perhatian mereka tercurahkan
untuk menghidupi diri sehari-hari? Mungkin mimpi kami tentang bocah-bocah cacat
ini berjarak puluhan tahun dari mimpi pulau ini.
“Di kota mereka diajari dengan
baik, Nek...” ucapku lirih, mengawasi Ngaji yang asyik meniru guratan huruf
AIUEO-ku tanpa mengerti pelafalan dari huruf-huruf yang sedang ditirunya.
“O ya? Ada yang mau mengajari?”
terbelalaklah si Nenek.
Aku memandangnya miris,
mengerti betul sudut pandangnya. “Ada. Tapi mereka bayar mahal, Nek,”
“Tapi mereka bisa ajari
anak-anak ini?”
“Bisa. Yang mengajar bukan
mahasiswa payah seperti saya, Nek. Yang mengajar guru khusus, profesional, yah
orang yang khusus belajar untuk pendidikan anak-anak seperti Ngaji lah, Nek,”
kewalahan aku mencari kata-kata sederhana untuk menggambarkan ‘profesional’.
“Oho, khusus belajar untuk
mengajari anak cacat? Ada yang belajar seperti itu?” makin terkejutlah si
nenek. Aku tertawa, lucu sekali kepolosan nenek ini; mungkin takkan kutemukan
di Jakarta.
“Iya. Disebutnya Sekolah Luar
Biasa, kelasnya dibagi-bagi sesuai cacat. Gurunya yang betul-betul cakap.
Anak-anak yang buta, bisu-tuli, cacat mental, idiot, atau juga yang seperti
Ngaji ini, mereka semua belajar pelajaran sesuai kurikulum yang ditentukan,
seperti anak sekolah biasa itu, Nek.” Meskipun agak tak enak aku menyebut
cacat-cacat itu, aku tahu tak akan bisa aku menggunakan istilah tuna-tunaan
dengan si nenek. Dan lagi-lagi aku kelabakan mencari padanan kata ‘kurikulum’.
“Di Maumere juga ada, di sana
Susteran yang urus. SLB juga ada di Maumere,” tambahku.
“Kenapa tidak ada di sini? Jauh
itu, siapa mau urus dia di Maumere,” keluhnya redup. Tapi sebentar kemudian
matanya bersinar,
“Jadi Ngaji ini bisa pintar? Ah
bercanda kamu? Lihat kamu ajar huruf lima itu saja tak bisa-bisa dia dari
kemarin,”
Aku tertawa lagi, hampir putus
asaku mengajarnya AIUEO. “Nenek lihat saja, waktu saya datang dia tidak tahu
apa-apa. Nanti waktu saya pulang sudah kenal huruf dan angka si Ngaji ini,”
“Heeee waiyeee!” seru si nenek
lalu berlalu memberi makan babi.
Aku tertawa lagi mendengar
celetukannya. Tapi aku bersungguh-sungguh. Akan kubuktikan pada orang-orang di
pulau ini bahwa anak-anak seperti Ngaji bisa belajar, dan mereka memang berhak
untuk belajar. Satu bulan kami di sini mungkin hanya bisa mengenalkan sedikit
huruf, tapi seumur hidup anak-anak ini terlalu sia-sia dihabiskan tanpa kenal
pendidikan karena sesungguhnya mereka mampu belajar ribuan kali lipat daripada
sekedar huruf. Kuingat lagi pasal 31 UUD 1945, bekalku dari Fakultas Hukum, hak
konstusional warga negara yang melandasi semangatku di sini. Ya, pasal itu masih
nol besar di pulau ini. Setiap warga
negara belum mencakup anak-anak cacat ini.
***
“Sudah ada wacana memang. Tapi belum kita masukkan dalam RPJM. Belum terpikir secara luas, Nona, masyarakat masih lebih memprioritaskan agenda-agenda lain. Saya sendirian mewacanakan ini. Lagipula, susah sekali mengubah cara pandang mereka itu,” di balai bambu rumah Bapak Kepala Desa kami berbincang.
“Umpan balik dari Pemda lama,
sulit sekali memasukkan pos seperti ini. Sama yang di atas belum tentu tidak
dipersulit. Alokasi APBD untuk pendidikan juga hanya 20%, pendidikan normal
saja terseok-seok. Mana Nona tahu sendiri ini provinsi banyak sekali masalah
seleweng-seleweng,” Aku cukup mengenal perilaku birokrat seperti ini. Semuanya
mentok di wacana, eksekusinya lambat sekali. Bahkan surat pun bisa jadi
penghalang. Dana pendidikan sampai bantuan sosial, selama kepentingan
menghendaki takkan haram buat diselewengkan.
“Tapi menurut saya penting
sekali itu SLB di Pulau ini. Selama ini fenomena ini ada, tapi masyarakat tidak
sadar. Dengan adik-adik datang kemari jauh-jauh dari Jakarta untuk ajari
anak-anak yang mereka bilang bodoh, masyarakat mulai mengerti,” aku memandang
Bapak Kades, membayangkan sekian ratus kepala desa lainnya di pulau-pulau
terpencil atau pedesaan yang menghadapi masalah yang sama. Ribuan anak cacat
yang tak terbayangkan oleh mereka yang di kota.
“Selama ini guru-guru terima
saja anak-anak itu di sekolah biasa. Sampai mereka tidak bisa ikuti lagi, baru
diminta keluar. Tapi ada guru yang jijik, misalnya si Ngaji itu, liurnya keluar
terus. Saya minta betul-betul supaya dia diterima sekolah, tapi guru-guru tidak
mau terima dia, takut anak lainnya jijik sama liur dan baunya,” aku menerawang.
Tidak hanya Ngaji. Mereka yang epilepsi bahkan tidak bisa sekolah di sini.
Apalagi yang buta, bisu-tuli. Berapa
tahun lagi akan terus begini?
***
Berakhir sudah satu bulan kami
di pulau ini. Hari-hari yang penuh bau khas anak-anak didik kami akan segera
menjadi hari yang kami rindukan. Kegiatan kami kian tersebar dari mulut ke
mulut, terbawa angin sampai ke desa-desa lain yang hanya bisa dicapai perahu
motor. Berbeda sudah cara masyarakat memperlakukan bocah-bocah itu, meskipun
aku tetap tak yakin sepulang kami akan ada yang meneruskan mengajar mereka.
“Nona, tidak bisa saya percaya
Ngaji bisa tahu angka 1-200? Bisa dia tahu A-Z? Benar itu, Nona?” menghamburlah
nenek Ngaji selepas presentasi kami di depan masyarakat pulau.
“Coba, Ngaji, tunjukkan sama
Nenek,” kuperintahkan bocah tujuh tahun yang sedang berada dalam rangkulanku
itu.
“A, B, C, D, E, F, G, H, I, J,
... J, ...” Ia terhenti. Aku tertawa. Ia tidak ingat lagi seterusnya. Kerja
keras setengah mati aku membuatnya ingat sepuluh huruf itu. Jika ditulis, ia
bisa ingat. Tapi tidak untuk melafalkan. Sedikit air mataku menggenang
mengingat betapa nolnya ia saat pertama dan bagaimana ia selalu bersemangat di
tiap pertemuan, walaupun ribuan kali kami mengulangi hal yang sama. Kuingat
pula betapa pontang pantingnya kami dengan fasilitas terbatas di pulau kecil
ini dan pengetahuan sekedar mahasiswa bodoh, ketika aku dan tim-ku berusaha
menggali metode yang tepat buat bocah-bocah ini. Ya, tidak seperti di kota,
tidak semudah itu di sini, pun jika benar-benar suatu hari ada SLB. Namun melihat
masyarakat yang begitu antusias, begitu haru biru dengan hasil yang dicapai
anak-anak yang mereka sebut cacat dan bodoh ini, sedikit banyak aku terhibur.
Apalagi melihat sang nenek yang berkaca-kaca ketika kutitipkan modul
pembelajaran dan analisa tertulis kondisi Ngaji. Hanya keluarga dan
teman-temanlah harapan satu-satunya untuk meneruskan pendidikan bagi anak-anak
ini. Berharap pada pemerintah bukannya tabu, hanya saja mungkin akan sia-sia
dalam waktu dekat. Kuciumi Ngaji, berharap selepas kepulangan kami ia akan
dapat terus belajar. Menghayalkan ia dapat membaca dan menulis, membalas
suratku suatu hari nanti. Membayangkan si lumpuh-idiot-berliur menemukan
bidangnya dimana ia benar-benar bergairah untuk menghabiskan hidupnya menekuni
hal tersebut.
Dari kejauhan, Bapak Kades
bersama Bapak Bupati berjalan ke arahku, senyum merekah di wajahnya, “Nona, sungguh
kami terkesan dengan program ini. Semua masyarakat terkesan. Tadi saya
bincang-bincang dengan Bapak Kades dan Bapak Camat, tentang SLB akan segera
kami bahas dan moga-moga untuk RPJM selanjutnya dapat segera kami alokasikan,”
manis sekali kata-kata Bupati ini.
“Dan dari desa sendiri, kita
akan buat program Pendidikan dan Pelayanan Khusus untuk adik-adik berkebutuhan
khusus ini. Semoga ini bisa jadi percontohan untuk desa-desa lainnya. Kita
nanti bincang-bincang dulu ya untuk transfer pengetahuan. Mungkin sekali kami
akan pakai cara adik-adik,” imbuh Bapak Kades.
Senyumku merekah, mataku
membasah. Harapanku sebesar planet Jupiter yang bengkak karena memuai. Naif,
khas anak muda.
***
Delapan tahun sudah aku
meninggalkan Palu’e, dan kini aku kembali. Pulau ini tetap terpencil, tetap
hanya punya sinyal di pantai dan kekurangan air. Delapan tahun aku hanya
berhubungan dengan segelintir orang, sekedar menanyakan kabar; namun tidak berkomunikasi
dengan anak didikku. Ngaji adalah orang pertama yang kucari begitu aku sampai
di sana.
Dan
ia adalah yang pertama mematahkan hatiku...
Sosok pemuda pendek, lumpuh dan
kotor; berjalan dengan menyeret pantatnya yang tak bercelana dengan tangan
kirinya yang kapalan, tak digubris orang, gagu dan berliur. Ia masih tak bisa
bahasa Indonesia dan masih suka tertawa sendiri. Ketika aku menyapanya, aku
masih mengharapkan ada kejutan kecil; sosok intelektual yang penuh pengetahuan
di balik penampilannya yang menggelandang. Tapi tidak, ia tetap berjarak
puluhan tahun dari mimpiku, tetap menggapai-gapai nikmat pengetahuan tanpa bisa
menyentuhnya, kembali ke nol sebelum ia kutemukan.
Aku terlalu muda dan naif dulu,
hingga begitu pedih hatiku sekarang. Sepulang kami, pulau ini kembali mati.
Janji Kades, Camat, maupun Bupati tak pernah terwujud, kandas seiring
bergantinya tampuk kekuasaan. SLB tak pernah ada, juga Pendidikan dan Pelayanan
Khusus. Pasal 31 UUD 1945 tetap nol besar selama delapan tahun, setidaknya di
sini, di pulau ini, yang hanya satu di antara tujuh belas ribu...
[1] Ngara moai adalah bahasa Palu’e dari
“Namamu siapa?”
2 comments:
you are darn good writer, quin! :)
Super menyentuh, tapi miris, pengen juga deh bisa KKN gitu.
Post a Comment