“Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.” Nyai Ontosoroh, Bumi Manusia.
Lima tahun lalu saya pertama kali berkenalan
dengan Pram. Yang tadinya hanya tugas mata kuliah Hukum Antar Tata Hukum
kemudian meresap ke dalam hati. Cara yang unik dari dosen saya membentuk kami.
Roman, yang bercerita dan bicara pada rasa; bergandengan dengan buku teks, yang
memberikan kami pengetahuan: tentang hukum, tentang logika dan analisis, tentang
apa yang dikatakan di undang-undang dan diputuskan di pengadilan. Seakan-akan
saya bisa mendengar dosen saya berpesan, “Di balik setiap kasus, ada cerita.
Bersama setiap norma, ada rasa – ialah keadilan itu.”
Kemarin saya merasa sedikit patah hati. Alkisah
petani pegunungan di suatu tempat bernama Kendeng – melawan. Penguasa
menginginkan tanah mereka – pegunungan karst Kendeng yang telah turun temurun
didiami mereka – menjadi pabrik semen. Mereka melawan; sebaik-baiknya,
sehormat-hormatnya. Seperti Nyai Ontosoroh yang menghadap ke muka pengadilan,
mereka lalui semua proses itu. Mereka ajukan gugatan ke pengadilan. Mereka berdialog,
mereka berjalan kaki ratusan kilo, mereka lakukan aksi damai mengecor kaki di
depan Istana Negara, mereka berkemah berhari-hari lagi di kantor Gubernur,
mereka bergeming ketika tenda mereka dirusak paksa, dan mereka berdoa. Ketika
akhirnya Mahkamah Agung memenangkan gugatan TUN mereka dalam Peninjauan
Kembali, beberapa dari mereka sedang menjalani proses hukum pidana – seperti biasa,
dalam konflik, korban yang melawan akan dikriminalisasi.
Terakhir hati saya terpaut perjuangan seajeg
dan setulus ini adalah ketika saya membaca sejarah konflik warga Porsea
dengan PT Indorayon Inti Utama pada era 80an akhir hingga 90an awal. Akhir
cerita PT IIU pernah indah – setelah perjuangan panjang dengan menempuh jalur
hukum, lobi, demonstrasi – Pemerintah Pusat dan DPR RI pernah memutuskan
kegiatan ini tidak dilanjutkan. Namun, di era Megawati, pemerintah memutuskan
melanjutkan proyek ini, memberikan izin baru dan menjamin “paradigma baru”
dalam operasinya. Kini, Porsea menjadi mantan pemenang yang tak ingin bicara –
yang membiarkan camatnya menolak siapapun yang ingin bicara “lingkungan” untuk
masuk ke kampung. Yang kuli-kuli pabriknya menghapus sejarah perjuangan mereka
di masa lalu, enggan bercerita karena takut terdengar atasannya. Yang mantan aktivis
terberaninya bisa berkata, “Kalau kamu tanya saya tentang TPL, saya tidak akan
jawab.”
Warga Kendeng menang di pengadilan. Tapi kemenangan
itu sementara – penguasa mematuhi putusan MA dan mencabut Izin Lingkungan yang
menjadi pokok permasalahan. Namun, ada ranah di mana suara mereka, dan suara
kami, kurang bertenaga. Warga Kendeng tidak memiliki kemewahan ahli-ahli yang
turun ke jalan sebagaimana warga Porsea dulu. Dan dalam sekali sidang addendum
AMDAL, dokumen yang dipermasalahkan bertahun-tahun dalam gugatan TUN itu
kembali dinyatakan layak – sekalipun ada beberapa perubahan yang disyaratkan. Saya
tak ingin menuduh siapapun menjual ilmu pengetahuan, tapi bisakah saya tak
mempertanyakan – tak adakah suara yang mewakili karst pegunungan Kendeng, dan
bercerita pada yang mulia para anggota komisi sidang AMDAL mengapa ia begitu
signifikan bagi lingkungan? Tak adakah yang memastikan penilaian holistik dalam
Bab 4 AMDAL benar-benar dinilai secara holistik? Tak adakah yang mempertanyakan
jika sidang sehari cukup untuk melihat kembali ekosistem karst Kendeng secara
utuh? Dan mengapa hanya ada satu alterantif bagi warga Kendeng – relokasi,
pindah paksa?
Annelies juga kalah, tapi Nyai Ontosoroh dan
Minke yang hidup dari pena Pram memenangkan hati orang-orang seperti kami. Ada
yang pernah berkata, kami harus tabah untuk selalu kalah. Sekalipun kami menang
di pengadilan, penguasa pasti punya cara memaksakan keinginannya – dan ilmu pengetahuan tak selalu
jujur. Kendeng belum berakhir – dan semoga sisa-sisa tenaga mereka untuk
melawan tetap ada. Saya ingin mendongengkan Bumi Manusia kepada ibu-ibu yang
lelah, dan memberitahu mereka bahwa mereka adalah bagian dari cerita.
Saya ingin memaksa lembaga saya untuk
bersikap dan bersiap - memaksa mata dan
jari saya mengeksplorasi di mana celah hukum yang cukup strategis untuk
melawan.
Kami akan melawan, Nyai. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.
Kisah kita adalah Bumi Manusia yang sesungguhnya.
3 comments:
Sedih kalo ngikutin Kendeng. Dulu saya pernah nginep bbrp hari di rumah Gun Retno di Pati dan menyaksikan sendiri bagaimana perjuangan mereka yang tulus mampu menyatukan orang Samin, NU, seniman, akademisi, dll.
Sepakat, kita akan terus melawan.
Salam kenal,
Tatat
Penggadaian ilmu pengetahuan demu penguasa & bisnis itu menyebalkan, duh smoga suatu saat saya bisa ikutan perjuangan demi kebenaran seperti itu :(
Salam kenal, Mba Tatat! Semoga kapan-kapan bisa jalan bareng yaaa :") RD, bisa dooong, banyak caranya, krn dukungan publik adalah hakim yg paling menentukan!
Post a Comment