Sunday, September 15, 2013

Lawyers, I suppose, were children once (Carles Lamb, as quoted in To Kill A Mockingbird)


Di suatu malam pada sebuah acara rakyat di terminal, saya menyelinap menepi dari gerombolan teman-teman. Gerombolan mereka yang berpesta menyanyikan syair perlawanan sepenuh hati, entah kepada siapa:

"Hukum adalah lembah hitam
tak mencerminkan keadilan
Pengacara juri hakim jaksa masih ternilai dengan angka
Uang! 
Hukum telah dikuasai oleh orang orang ber-uang
Hukum adalah permainan 
tuk menjaga kekuasaan"

Dulu kampus saya disebut sebagai kampus rakyat. Tapi memang ibukota selalu terlalu jauh dan terlalu dekat dengan kerakyatan. Ada jarak yang belum terjembatani antara cinta terhadap keilmuan dengan cinta terhadap perjuangan, dan saudara tirinya yang mengintip ragu dari zona nyaman, si cinta terhadap kemapanan. Pun jika mereka bertiga telah senada, ada lagi belukar berduri yang membatasi antara "perasaan keadilan" dengan "kepercayaan akan kepastian hukum". Sementara, sebelum sempat melihat belukar berduri itu, kami terjebak di tengah-tengah, di dalam pagar kampus megah yang 70% anak-anak cemerlangnya terkondisi untuk berambisi mengejar karir cemerlang di hukum bisnis yang substansinya menarik plus menjanjikan untuk penghidupan. Kami terpagari dengan aman dari ketidakadilan.

Toh, syair itu buat kami.

Dalam "Pulanglah Nang", Wiji Thukul menuliskan dengan tepat bagaimana seorang anak kota dipagari dalam istana kenyamanannya dan bagaimana cita-citanya dibentuk. Tutur seorang pembantu untuk anak majikannya, memohon jangan berteman dengan anak-anak kampung dan bermain dengan mainan-mainan kotanya saja. Menyuruh membuat PR dan belajar yang rajin agar nanti menjadi dokter. Puisi sederhana yang sempat semua anak kota alami: bagaimana pembatas itu ada karena hal-hal kecil - ketularan kutu, mainan yang jorok, jajanan yang tidak higienis, kosa kata yang tidak pantas. Dari awal, tindakan orang tua yang paling bijak sekalipun telah terpagari struktur sosial, dan dalam pagar itu kami tumbuh.

Lalu anak-anak inilah yang kemudian memiliki akses terhadap pendidikan yang terbaik - pendidikan dalam arti yang seluas-luasnya. Sekolah formal yang terbaik, pengasahan kemampuan analisa dan struktur berpikir yang terbaik, teman-teman dan inspirasi terbaik, kompetisi terbaik, bacaan-bacaan terbaik, fasilitas terbaik, falsafah dan etos kerja terbaik. Di sini, saya bicara mengenai akses - kesempatan. Apakah kemudian mereka jadi yang terbaik memang ditentukan berbagai faktor lainnya, tetapi ada kondisi bahwa akses yang dimiliki oleh orang-orang dari struktur sosial yang lebih rendah akan mensyaratkan sebuah usaha yang lebih keras dan keberuntungan yang lebih agar dapat menyamai baseline akses tersebut. Ketika pendidikan formal di SMA selesai, maka dunia kampus menyambut - dan sekolah-sekolah terbaik menuntut anak-anak dengan kemampuan terbaik, termasuk pula kampus hukum. Alhasil, mayoritas penikmat bangku kuliah hukum di universitas-universitas terbaik berasal dari kalangan borjuis.

Di kampus, anak-anak ini mulai bertemu dengan berbagai kesempatan melihat dunia luas dan hukum dalam penerapan yang sesungguhnya. Namun kami melihat, mengamati, mengobservasi, bukan merasakan. Atau jika kami punya kesempatan merasakan, kami tidak benar-benar bisa menjadi bagian. Ada selaput yang begitu sulit tertembus ketika sudah berbicara tentang kelas, hal-hal kecil itu - gangguan genit ketika kami memberikan nomor HP ke masyarakat, jarak bahasa dan edukasi yang begitu jauh, penolakan, ketidakpercayaan terhadap hukum, dimintai uang oleh mereka yang ingin kami bantu, korupsi dan birokrasi yang berbelit-belit. Semua yang memupuskan kami, ketika sebagian kecil keadilan sebenarnya berbicara tentang kesetaraan kelas, justru kami sibuk memagari diri dari kelas yang berbeda. Kami menjadi semakin pintar dalam konteks norma dan konsep, tetapi tumpul dalam visi dan mimpi. Di sisi lain, LSM dan pemerintah kalah agresif dari lawfirm dan korporasi dalam memfasilitasi workshop, sehingga visi kami terbentur mimpi-mimpi ambisius karir gemilang yang terfasilitasi dengan sempurna semasa kuliah. Cita-cita negara sudah terlalu jauh, dan kami mulai memilah batas aman - menyingkirkan dari cita-cita aparatur negara yang sudah terlalu korup, dan LSM yang terlalu beresiko untuk kenyamanan pribadi dan terlalu sibuk untuk menyadari bahwa ada jiwa-jiwa naif yang masih melirik.

Jadi anda bisa membayangkan, betapa sesaknya saya di malam itu ketika mendengarkan syair anda. Syair buat kelas saya dari kelas anda. Ungkapan yang jujur dari awam hukum bagi praktisi hukum. Yang anda bawakan dengan semangat membara, yang disambut fans-fans anda dengan nyanyian syair yang telah mereka hafal di luar kepala. Telah terdoktrinasi dan dipercaya, ketika saya masih mati-matian mencari pembenaran praktis atas dongeng-dongeng masa kecil dari ayah saya, dosen saya, buku-buku teks saya, tentang hukum dan keadilan.

Saya tidak menulis ini sebagai pledoi. Saya hanya berusaha melihat jembatan yang tidak kelihatan itu dari sisi yang seobjektif mungkin. Mungkin sebagai permintaan maaf kepada diri saya sendiri atas keterbatasan keberanian saya untuk terjun total dalam mewujudkan mimpi akan keadilan bagi the least disadvantaged people, seperti kata Rawls - yang entah bagaimana cara idealnya. Mungkin merayakan patah hati yang sudah berkali-kali menyerang namun masih gagal membungkam semangat naif dan keyakinan pribadi dalam seretan langkah setengah-setengah sebuah misi membela mereka yang terpinggirkan.

No comments: