Aku tahu akan canggung menulis tentangmu dalam bahasa ini,
Indonesia. Karena aku akan menulis begitu banyak perasaan: cinta dan pedih; dan
kau tahu bahwa kita enggan menggunakan bahasa pertama untuk bicara perasaan.
Engkau ada di punggungku, satu-satunya cinderamata permanen
di kulitku agar aku selalu ingat bahwa aku menyokongmu. Engkau di hatiku, di
karirku. Dalam gugatan-gugatanku yang kesannya membencimu. Dan memang kadang
aku gemas akan tingkahmu. Tapi bagaimana bisa aku membencimu, jika orang-orang
yang kau tindas bahkan masih begitu sayang padamu?
Tahukah kau, Indonesia? Engkau juga ada di rumah-rumah kumuh.
Engkau harapan sawah dan ladang yang kau jarah jadi pabrik, di hutan yang kau
obral konsesinya. Namamu bergema di bukit-bukit dan mata air gua karst yang kau
tambang atas nama pembangunan. Di kampung-kampung miskin yang tak terjamah
infrastruktur. Mereka yang justru paling girang gembira memestakanmu dengan
balap karung, panjat pinang, dan semua mainan sederhana itu – yang kerap kau
anggap kutil di lubang pantatmu. Engkau ada di hati mereka, janji kemerdekaanmu
telah didengungkan kepada anak-anak mereka.
Indonesia, ini hari kemerdekaan tersedih dalam hidupku.
Kenapa kau pinggirkan lagi anak-anak Ibu Pertiwi yang paling
setia, paling sederhana, paling sedikit menyumbang kehancuranmu? Orang-orang
yang telah melawan dengan sehormat-hormatnya, dalam semua keterbatasan mereka? Memang
tak mudah menemukan makna dalam kata berbunga-bunga dan rentetan birokrasi yang
menggila, tapi fakta tak bisa dibuat dari bias satu pihak saja.
Mungkin aku hanya terkejut karena kau merampas mainan
kesukaanku. Atau karena kau akhirnya berhasil menggilas idolaku. Atau aku hanya
merasa gagal karena aku tak pernah mampu mengerahkan seluruh kemampuanku untuk membantumu
menalar argumen-argumen rumit yang disajikan di depanmu.
Hari ini aku merayakan perjuangan, Indonesia. Perjuangan
dari jajahan bangsaku sendiri. Bersama tentara-tentara yang masih bertahan. Kami
patah. Kami tumbuh. Kendeng tidak hilang. Ia membangkitkan Ibu Pertiwi di
jiwa-jiwa kami, menyuburkan bibit-bibit yang akan meneruskan perjuangan ini.
Jakarta, 17 Agustus
2017. Dibuat dalam balutan penyesalan dan kesedihan, sebuah solidaritas untuk teman-teman
Kendeng, yang perjuangannya telah menginspirasi begitu banyak pegiat lingkungan
tanah air. Maafkan kami, Ibu Pertiwi.
No comments:
Post a Comment