Beberapa hari ini saya punya buntut baru, namanya laser egg.
Benda yang lucu yang saya pinjam dari Greenpeace Indonesia pasca mereka
meluncurkan aplikasi pemantauan kualitas udara bernama “Udara Kita.” Laser egg
yang saya bawa (dan saya namai Si Telur) kebetulan hanya mampu mendeteksi debu,
atau nama lainnya partikulat matter (PM).
Debu sendiri terbagi beberapa jenis, ada yang besarnya lebih dari 10µm (TSP);
ada yang kurang dari sama dengan 10µm (PM 10); dan partikel halus yang
berukuran kurang dari sama dengan 2,5 µm (PM 2.5). Untuk pengantar singkat
mengenai signifikansi perbedaan ukuran ini, silakan cek jawaban di Quora
berikut. Untuk membayangkan seberapa kecil masing-masing debu, silakan
lihat gambar di bawah. Singkat cerita, makin kecil ukuran debu, makin besar
tingkat kebahayaannya. Soalnya, ia bisa masuk semakin dalam ke dalam sistem
pernafasan.
Si Telur mampu mendeteksi debu dan menampilkan kadar debu di
udara dalam 4 bentuk: Air Quality Index (AQI) China; AQI USA; jumlah partikel; dan
baku mutu udara ambient (dalam satuan µg/m3). Namun, yang ia
tampilkan hanya PM 2.5. Kenapa alat ini yang dipilih? Karena, justru PM 2.5 lah
yang kerap luput dipantau oleh pemerintah. Padahal, dari sisi kebahayaan,
secara medis konsentrasi PM 2.5 yang terlalu tinggi di udara sudah terbukti
dapat menyebabkan berbagai gangguan pernafasan akut (misal ISPA) dan kronik
(misal asma, bronkitis, dan penyakit paru obstruktif kronik); selain itu, pencemaran
udara oleh PM 2.5 dapat menyebabkan sakit jantung, stroke, serta kematian dini.
Inilah yang tidak diketahui banyak orang. Sebagai anak kota, kesehatan kita
jauh lebih rentan lho, karena udara yang kita hirup setiap hari ternyata sangat
signifikan pengaruhnya terhadap kesehatan – dan umur – kita.
Saya membawa Si Telur untuk misi Bond 007 – alias misi
rahasia. Namun, ada beberapa hal yang bisa saya ceritakan kepada kalian,
terutama jika kalian berminat mengunduh aplikasi
Udara Kita atau membeli laser egg sendiri. Kebetulan mobilitas saya cukup
tinggi saat membawa Si Telur ini, yaitu dari selatan Bali (bandara) menuju ke
utara nan segar; baik di perkampungan ataupun di jalan raya, baik di dalam
rumah maupun di luar rumah. Sebagai patokan, biasanya saya melihat indeks AQI
USA. Ingin tahu bagaimana bentuk indeks AQI USA?
Inilah beberapa pelajaran yang bisa saya petik dalam
beberapa hari kebersamaan bersama si telur.
1. Nggak semua debu
bisa kita rasakan.
Beberapa partikulat halus bisa kita rasakan sensasi
mencekiknya dengan jelas, misal, knalpot yang mengepulkan asap, sumber
pembakaran terbuka seperti sampah/BBQ, asap rokok, dll. Dalam radius dekat
dengan sumber pencemar tersebut, Si Telur jelas bereaksi – dan reaksinya lebay,
bisa sampai angka ideks 500 (sangat berbahaya / indikator warna hitam). Tapi,
ada waktu-waktu di mana saya dan rekan tidak merasakan atau melihat apapun,
namun angka indeks meningkat pesat sampai pada level tidak sehat bagi grup sensitif
atau sangat tidak sehat (bagi grup manapun). Kebetulan, di tempat kami
meletakkan si telur, memang terdapat sumber pencemar yang terus beroperasi 24
jam (dalam skala yang berbeda-beda). Dan dari hasil ngobrol ngalor ngidul kami
dengan beberapa warga lokal, kebanyakan dari mereka justru mengungkapkan keluh
kesah terkait dengan debu (TSP) yang kasat mata, bikin kotor namun
kebahayaannya tidak sesignifikan PM 2.5.
Artinya, memang ada gap “rasa” dalam mengapresiasi PM 2.5 di
sini – ia tidak selalu terlihat, tidak selalu terasa, tidak selalu berbau;
namun ia ada. Seperti kamu dalam hatiku. Apasih, Quin, okelah kembali ke debu. Jadi,
perlu dikritisi ya lagunya the Massive, aku tanpamu butiran debu – debunya TSP,
PM 10, PM 2.5 atau bahkan nanopartikel? Kalau dua yang terakhir, artinya kamu
sangat signifikan! (Mohon maaf atas kesimpulan yang ngelantur ini)
2. Udara dalam
ruangan kita bukan tanpa masalah!
Salah satu fakta mengejutkan yang saya pelajari dari Si Telur
adalah betapa udara di dalam ruangan bisa begitu keji dibandingkan dengan
rekannya di luar. Ada masanya selama saya melakukan pengukuran di luar ruangan
hasilnya baik-baik saja; namun begitu dibawa masuk ruangan, Si Telur bereaksi. Lalu,
ada satu ruangan yang tercium bau debunya, di situ Si Telur langsung
menunjukkan angka 170-an atau berbahaya (bagi semua grup). Yang paling
mengejutkan, pagi ini, saat saya bangun tidur di resort cantik ber-AC dengan
pintu tertutup, Si Telur menunjukkan indikator berbahaya bagi grup sensitif!
Sebagai orang kota yang menghabiskan sebagian besar hidup
kita di dalam ruangan, tentu saja jadi was-was. Memang sih Bali berbeda
kondisinya dengan Jakarta, karena di Jakarta luar ruangan mungkin terlalu keji.
Tapi, Bali yang kondisi luar ruangannya minim debu saja bisa menghasilkan
tumpukan debu yang tinggi di dalam ruangan. Nah, nasib Jakarta bagaimana donk?
Tentu untuk menjawab kegamangan ini saya harus membawa Si Telur ke kamar-kamar
orang, dari yang di lantai bawah hingga nun jauh di atap. Tunggu laporan
berikutnya ya!
PS: Oiya, kita belum punya peraturan yang mumpuni lho
tentang pencemar udara dalam ruangan – bahkan, level aturan yang menyuruh
KLHK/Kemenkes mengedukasi atau memberikan informasi tentang pencemaran
udara dalam ruangan. Tanya kenapa, silakan hubungi KLHK.
3. Jika kamu ingin
mengukur dampak dari sumber pencemar tertentu, sebaiknya terlebih dulu cari
informasi pendahuluan.
Ketika kamu sudah mengetahui kualitas udara di tempatmu, tak
dinyanya mungkin kamu mencurigai aktivitas tertentu sebagai penyebab utama tingginya
PM 2.5 di tempatmu. Tapi, tunggu dulu, logika berpikirnya tak semudah itu.
Pertama, agar dapat mengukur dengan valid, ada beberapa
persyaratan yang harus dipatuhi. Apakah kamu sudah mengukur jauh dari lokasi
pembakaran? Kamu yakin kamu menempatkan Si Telur di tempat yang minim debu?
Kedua, apakah kamu sudah tahu sumber-sumber pencemar di sekitarmu?
Apakah ada data mengenai perkiraan kontribusi sumber bergerak (misal, kendaraan
bermotor) dan sumber tidak bergerak (misal, pabrik)?
Ketiga, apakah kamu memahami perilaku angin dan cuaca di
tempatmu? Bertiupnya angin akan sangat mempengaruhi ke mana debu jatuh; dan
arah angin ini akan berbeda-beda bergantung musim dan iklim. Selain itu, musim
juga berpengaruh – di musim hujan, kemampuan air (dan uap air) untuk “mengencerkan”
pencemaran kemungkinan akan menyebabkan hasil pengukuran yang lebih rendah
dibandingkan dengan di musim kemarau.
Untuk informasi lebih lanjut, saya juga masih mencari “air
pollution investigation for dummies,” atau mungkin perlu ada tim kolaboratif
untuk membuatnya ya?
Demikian cerita tentang Si Telur dan tiga kesan utamanya di
hati saya dalam beberapa hari ini. Jika kamu ingin menemukan (baca: meminjam)
telurmu, coba kontak Greenpeace Indonesia via Twitter/IG.
Selamat mencari udara bersih!