Pagi itu terlambat satu jam dia bangun. Yah, tapi itu hari Jum’at, maka santai saja dia langkahkan kaki menuju stasiun kereta. Seperti hari-hari lainnya, hari itu juga harus ditempuhnya perjalanan dari pinggiran Jawa Barat menuju ke jantung kota Jakarta. Tiga puluh lima menit yang disebutnya inhuman and degrading treatment bagi lebih dari empat ratus ribu pengguna moda transportasi listrik itu. Ketika berebut menghambur masuk ke dalam kereta, baik commuter line yang pakai AC seharga enam ribu perak; ataupun KRL ekonomi rongsokan seharga seribu lima ratus, binatang dalam tubuh orang-orang itulah yang mengambil alih. Tak perduli pedagang, preman, ibu-ibu kantoran, penjaga toko, mahasiswa, peneliti, semua bergerak dengan satu tujuan: bisa masuk kereta yang empat-empatannya sudah berceceran hingga ke atap, gelantungan pintu, sampai sambungan-sambungan gerbong itu. Sekalipun dengan kasar, dengan menghimpit yang sudah pepat, dengan menghirup jatah oksigen hingga ke level yang bikin sesak. Kejahatan komunal.
Tiga puluh lima menit itu biasa dilaluinya dengan konsumsi lirik dan nada dari i-pod nano-nya, yang menjadi backsound buatnya menatapi muka-muka pagi yang segar ataupun muka sore yang lelah ingin cepat sampai rumah. Backsound untuk roman pilu yang menghantui wajah tujuh puluh persen dari teman-teman segerbongnya: rutinitas yang mati dengan wajah kosong, waktu yang terlalu banyak dirampas oleh padat dan lambatnya jalanan. Sendiri-sendiri di jalan. Tapi hari ini tidak. Entah kenapa dia ingin menikmati alam dengan suaranya sendiri, tanpa backsound lagu-lagu manusia. Hari ini ada yang berbeda, gumamnya. Kepada semesta, ia melemparkan senyum. Senyum yang hidup, hiburan paling mewah buatnya bahkan untuk menghibur diri sendiri.
Baru lima menit ia duduk, telah terdengar suara “Dari utara, segera masuk KRL ekonomi tujuan Jakarta, berhenti di tiap stasiun”. Ia memandangi tiket commuter line enam ribu di tangannya. Sial, rugi empat ribu lima ratus! Ya sudahlah, aku sudah terlambat. Dan di situlah ia terdampar di sebuah ruang kecil di antara gerbong dan sambungan kereta, tapi dipisahkan pintu. Ukurannya paling 2,5m x 1,5m. Belakangan ia tahu, mereka menyebutnya kabin…
***
“Ini perut kita nempel ini!” dua ibu-ibu yang sedang berdiri berhadap-hadapan terkikik-kikik bersama. Suaranya bisa terdengar di seluruh ruang kecil itu. Alisku mengkerut. Badan yang menempel, bahkan terhimpit sesak, memang hal yang biasa di kereta: KRL ataupun commuter. Bahkan di commuter, AC tidak akan terasa lagi dan terkadang sangat sesak seperti ikan yang ditumpuk pepat di akuarium. Kalau mati lampu, ikut matilah penumpangnya kepanasan dan kesesakan. Mati lampu di tengah jalan juga hal yang wajar, semua bisa terjadi kapan dan di mana saja di Negara ini. Dan pasukan kereta, buatku, adalah salah satu rombongan tertangguh. Tapi rombongan ruang kecil ini berbeda, rombongan ini tampak saling kenal. Malah dua ibu tadi menjadikannya canda. Tampak hidup, cekikikan seenaknya. Tampak ceria.
“Sini say, sini tasnya!” ruangan kecil kami kemasukan satu penumpang lagi. Seenaknya dioperkannya tas itu, ditumpuk di sudut ruangan, di samping seorang pria yang tampaknya juga penumpang, yang mulai kelabakan menjaga barang-barang wanita itu. Gila juga orang-orang ini, berani amat tasnya ditaroh sembarangan.
“Makasih, Est!” Oh, kenal. Aku bengong sebentar, menatapi ruang kecil ini. Sedari tadi beberapa orang terus-terusan ngobrol dengan bebas. Tertawa, bahkan main cubit-cubitan pipi. Hiburan mewah buatku. Takjub. Mereka masuk di stasiun yang berbeda-beda, dari Bogor sampai Kalibata. Apa saking lamanya naik kereta, mereka jadi kenal? Tapi bagaimana interaksi awal mereka? Apa sebenarnya mereka? Bagaimana mereka bertemu, berteman di awal? Tidakkah mereka saling curiga? Aku membayangkan betapa waspadanya aku pada siapapun dalam kereta. Semua orang bisa saja penjahat. Apa mereka bertemu di kereta ini karena naik ruangan yang sama setiap hari? Tapi di Indonesia kau tidak bisa janjian di gerbong tertentu saking berantakannya stasiun kami. Setiap stasiun panjang peronnya berbeda, struktur kursi tunggu berbeda, tak ada pintu seperti MRT Singapura yang bisa dihitung; ada plang nama stasiun saja sudah untung. Bagaimana mereka bisa saling kenal kalau stasiunnya beda-beda?
“Aduuuh, Sarjo kamu tuh minggir dong. Nanti kita bongkar deh di stasiun selanjutnya. Posisiku nggak enak ini,” aku nyengir. Posisiku juga tak enak. Bapak-bapak di sampingku sepertinya sengaja mengambil posisi yang menguntungkannya, sengaja mendempetku yang tepat di sebelahnya dengan muka menghadapku. Sungguh mual aku sebenarnya.
“Kamu tuh harusnya jangan nyamping gitu. Hadap kanan sini nih!” Aku mulai merasa dia sengaja menyelamatkanku yang tampak tak nyaman. Aku tertawa saja, agak bahagia. Tempat ini benar-benar cair dan hangat.
Beberapa stasiun selanjutnya, ada lagi yang mengagetkan. Seorang ibu masuk ke kereta membawa dua bungkusan besar, yang juga langsung dioper seenaknya.
“Horee! Nih, keripik tempenya! Kemarin siapa yang sudah pesan?” Bu Ester menumpukkan dua bungkusan besar tadi ke si pria penjaga barang yang makin kepenuhan. Mereka mulai mengabsen,
“Saya lima ya, Bu!”
“Saya dua puluh. Eh tapi saya ambil sepuluh dulu aja deh kalo nggak cukup,”
“Ah Ibu Lina kan gampang ketemu Bu Ester, saya susah ketemu, buat saya agak banyakan dulu ya!”
Begitulah. Transaksi. Anehnya tidak ada bayar membayar, mungkin nanti baru dibayar, atau sudah dibayar. Sebuah keripik tempe dibuka dan diedarkan. Aku kebagian. Enak sekali keripiknya. Tapi lebih enak lagi, mereka membagiku. Yang sama sekali asing. Ah, enak sekali rasanya, seperti diterima.
Karena keripiknya enak, kuberanikan diri untuk bertanya, “Bu Ester, keripiknya harus pesan dulu ya kalau mau beli?”
Tanpa rasa kaget ia menjawab, “Iya, say! Pesan sama Ibu yang ini,” tunjuknya. Aku senyum-senyum sedih. Sejujurnya aku mau keripik itu. Tapi yang aku ingin sebenarnya ngobrol dengan mereka. Memiliki perjalanan kereta mereka yang tampaknya menyenangkan sekali. Segelintir orang yang punya senyum dan tawa yang… hidup.
“Adek mahasiswa, atau kerja?” si Bapak Mesum tiba-tiba bertanya. Malas sekali rasanya menjawab. Ibu-ibu meledekinya karena menggodaku, nona muda asing ini.
“Jarang naik kereta ya?”
Aku tertawa ala kadarnya, “Biasanya yang jam 6, naik komuter Pak,”
“Oh, ada rombongan juga?”
Aku menggeleng. Memang tidak ada. Di komuter sepertinya tidak ada. Atau mungkin aku yang belum tahu.
“Kalau ini, satu rombongan ya?” tanyaku polos. Ia mengangguk.
Aku makin penasaran dengan rombongan kereta ekonomi ini. Tapi stasiun Manggarai sudah dekat dan aku akan harus segera turun.
“Jadi yang di atap-atap juga ada rombongannya?”
“Ada. Semua ada rombongan,”
“Kalau yang ini, rombongannya selalu di sini ya?”
“Iya. Ini namanya kabin,”
Itulah pertanyaan terakhirku. Stasiun Manggarai sudah di depan hidung. Aku melompat dari kereta, diajarkan oleh si Bapak Mesum.
“Terima kasih,”
Mereka mungkin tidak mendengarku. Tapi aku hari ini bahagia. Sumpah, super bahagia. Di KRL, aku menemukan inspirasi. Mungkin akan ada hari lainnya, dengan rombongan lain. Tapi hari ini aku harus ngantor dulu, berteman dengan komputer dan berkas-berkas.
***
“Enak ya, jadi mahasiswa,” obrolan di kabin KRL Ekonomi bergulir, kali ini topiknya si nona muda yang baru turun tadi.
“Hahaha keliatan banget tuh Mbak yang tadi biasa diantar jemput, nggak bisa naik kereta. Paling bisa juga commuter,” sahut seseorang.
“Kita mah harus tiap hari ya, gimana dong rumah di Bogor tapi harus ngantor. Muak-muak deh naik kereta ekonomi,” seseorang lagi menyambung sambil tertawa.
“Harus pinter-pinter ngakalin gaji, Mbak! Biaya semua tinggi, bayarin sekolah anak aja udah mau mati,” mereka tergelak lagi.
Si nona muda segera mereka lupakan. Terlalu banyak topik kesulitan sehari-hari yang bisa jadi bahan perbincangan. Kereta adalah kereta: alat transportasi, ruang sosial, bukan inhuman and degrading treatment namun suatu kewajaran buat mereka. Biasa saja, sudah untung ada kereta. Beda sudut pandang dengan si nona muda. Mereka tak tahu harga hari itu buat dia...
* 1.067 mm adalah lebar trak sempit yang digunakan pada jalur kereta Jakarta-Bogor, dibangun pada 1871-1873. Setiap harinya, lebih dari 400.000 orang melaksanakan rutinitas hariannya untuk bekerja dengan menggunakan moda transportasi ini.
Tiga puluh lima menit itu biasa dilaluinya dengan konsumsi lirik dan nada dari i-pod nano-nya, yang menjadi backsound buatnya menatapi muka-muka pagi yang segar ataupun muka sore yang lelah ingin cepat sampai rumah. Backsound untuk roman pilu yang menghantui wajah tujuh puluh persen dari teman-teman segerbongnya: rutinitas yang mati dengan wajah kosong, waktu yang terlalu banyak dirampas oleh padat dan lambatnya jalanan. Sendiri-sendiri di jalan. Tapi hari ini tidak. Entah kenapa dia ingin menikmati alam dengan suaranya sendiri, tanpa backsound lagu-lagu manusia. Hari ini ada yang berbeda, gumamnya. Kepada semesta, ia melemparkan senyum. Senyum yang hidup, hiburan paling mewah buatnya bahkan untuk menghibur diri sendiri.
Baru lima menit ia duduk, telah terdengar suara “Dari utara, segera masuk KRL ekonomi tujuan Jakarta, berhenti di tiap stasiun”. Ia memandangi tiket commuter line enam ribu di tangannya. Sial, rugi empat ribu lima ratus! Ya sudahlah, aku sudah terlambat. Dan di situlah ia terdampar di sebuah ruang kecil di antara gerbong dan sambungan kereta, tapi dipisahkan pintu. Ukurannya paling 2,5m x 1,5m. Belakangan ia tahu, mereka menyebutnya kabin…
***
“Ini perut kita nempel ini!” dua ibu-ibu yang sedang berdiri berhadap-hadapan terkikik-kikik bersama. Suaranya bisa terdengar di seluruh ruang kecil itu. Alisku mengkerut. Badan yang menempel, bahkan terhimpit sesak, memang hal yang biasa di kereta: KRL ataupun commuter. Bahkan di commuter, AC tidak akan terasa lagi dan terkadang sangat sesak seperti ikan yang ditumpuk pepat di akuarium. Kalau mati lampu, ikut matilah penumpangnya kepanasan dan kesesakan. Mati lampu di tengah jalan juga hal yang wajar, semua bisa terjadi kapan dan di mana saja di Negara ini. Dan pasukan kereta, buatku, adalah salah satu rombongan tertangguh. Tapi rombongan ruang kecil ini berbeda, rombongan ini tampak saling kenal. Malah dua ibu tadi menjadikannya canda. Tampak hidup, cekikikan seenaknya. Tampak ceria.
“Sini say, sini tasnya!” ruangan kecil kami kemasukan satu penumpang lagi. Seenaknya dioperkannya tas itu, ditumpuk di sudut ruangan, di samping seorang pria yang tampaknya juga penumpang, yang mulai kelabakan menjaga barang-barang wanita itu. Gila juga orang-orang ini, berani amat tasnya ditaroh sembarangan.
“Makasih, Est!” Oh, kenal. Aku bengong sebentar, menatapi ruang kecil ini. Sedari tadi beberapa orang terus-terusan ngobrol dengan bebas. Tertawa, bahkan main cubit-cubitan pipi. Hiburan mewah buatku. Takjub. Mereka masuk di stasiun yang berbeda-beda, dari Bogor sampai Kalibata. Apa saking lamanya naik kereta, mereka jadi kenal? Tapi bagaimana interaksi awal mereka? Apa sebenarnya mereka? Bagaimana mereka bertemu, berteman di awal? Tidakkah mereka saling curiga? Aku membayangkan betapa waspadanya aku pada siapapun dalam kereta. Semua orang bisa saja penjahat. Apa mereka bertemu di kereta ini karena naik ruangan yang sama setiap hari? Tapi di Indonesia kau tidak bisa janjian di gerbong tertentu saking berantakannya stasiun kami. Setiap stasiun panjang peronnya berbeda, struktur kursi tunggu berbeda, tak ada pintu seperti MRT Singapura yang bisa dihitung; ada plang nama stasiun saja sudah untung. Bagaimana mereka bisa saling kenal kalau stasiunnya beda-beda?
“Aduuuh, Sarjo kamu tuh minggir dong. Nanti kita bongkar deh di stasiun selanjutnya. Posisiku nggak enak ini,” aku nyengir. Posisiku juga tak enak. Bapak-bapak di sampingku sepertinya sengaja mengambil posisi yang menguntungkannya, sengaja mendempetku yang tepat di sebelahnya dengan muka menghadapku. Sungguh mual aku sebenarnya.
“Kamu tuh harusnya jangan nyamping gitu. Hadap kanan sini nih!” Aku mulai merasa dia sengaja menyelamatkanku yang tampak tak nyaman. Aku tertawa saja, agak bahagia. Tempat ini benar-benar cair dan hangat.
Beberapa stasiun selanjutnya, ada lagi yang mengagetkan. Seorang ibu masuk ke kereta membawa dua bungkusan besar, yang juga langsung dioper seenaknya.
“Horee! Nih, keripik tempenya! Kemarin siapa yang sudah pesan?” Bu Ester menumpukkan dua bungkusan besar tadi ke si pria penjaga barang yang makin kepenuhan. Mereka mulai mengabsen,
“Saya lima ya, Bu!”
“Saya dua puluh. Eh tapi saya ambil sepuluh dulu aja deh kalo nggak cukup,”
“Ah Ibu Lina kan gampang ketemu Bu Ester, saya susah ketemu, buat saya agak banyakan dulu ya!”
Begitulah. Transaksi. Anehnya tidak ada bayar membayar, mungkin nanti baru dibayar, atau sudah dibayar. Sebuah keripik tempe dibuka dan diedarkan. Aku kebagian. Enak sekali keripiknya. Tapi lebih enak lagi, mereka membagiku. Yang sama sekali asing. Ah, enak sekali rasanya, seperti diterima.
Karena keripiknya enak, kuberanikan diri untuk bertanya, “Bu Ester, keripiknya harus pesan dulu ya kalau mau beli?”
Tanpa rasa kaget ia menjawab, “Iya, say! Pesan sama Ibu yang ini,” tunjuknya. Aku senyum-senyum sedih. Sejujurnya aku mau keripik itu. Tapi yang aku ingin sebenarnya ngobrol dengan mereka. Memiliki perjalanan kereta mereka yang tampaknya menyenangkan sekali. Segelintir orang yang punya senyum dan tawa yang… hidup.
“Adek mahasiswa, atau kerja?” si Bapak Mesum tiba-tiba bertanya. Malas sekali rasanya menjawab. Ibu-ibu meledekinya karena menggodaku, nona muda asing ini.
“Jarang naik kereta ya?”
Aku tertawa ala kadarnya, “Biasanya yang jam 6, naik komuter Pak,”
“Oh, ada rombongan juga?”
Aku menggeleng. Memang tidak ada. Di komuter sepertinya tidak ada. Atau mungkin aku yang belum tahu.
“Kalau ini, satu rombongan ya?” tanyaku polos. Ia mengangguk.
Aku makin penasaran dengan rombongan kereta ekonomi ini. Tapi stasiun Manggarai sudah dekat dan aku akan harus segera turun.
“Jadi yang di atap-atap juga ada rombongannya?”
“Ada. Semua ada rombongan,”
“Kalau yang ini, rombongannya selalu di sini ya?”
“Iya. Ini namanya kabin,”
Itulah pertanyaan terakhirku. Stasiun Manggarai sudah di depan hidung. Aku melompat dari kereta, diajarkan oleh si Bapak Mesum.
“Terima kasih,”
Mereka mungkin tidak mendengarku. Tapi aku hari ini bahagia. Sumpah, super bahagia. Di KRL, aku menemukan inspirasi. Mungkin akan ada hari lainnya, dengan rombongan lain. Tapi hari ini aku harus ngantor dulu, berteman dengan komputer dan berkas-berkas.
***
“Enak ya, jadi mahasiswa,” obrolan di kabin KRL Ekonomi bergulir, kali ini topiknya si nona muda yang baru turun tadi.
“Hahaha keliatan banget tuh Mbak yang tadi biasa diantar jemput, nggak bisa naik kereta. Paling bisa juga commuter,” sahut seseorang.
“Kita mah harus tiap hari ya, gimana dong rumah di Bogor tapi harus ngantor. Muak-muak deh naik kereta ekonomi,” seseorang lagi menyambung sambil tertawa.
“Harus pinter-pinter ngakalin gaji, Mbak! Biaya semua tinggi, bayarin sekolah anak aja udah mau mati,” mereka tergelak lagi.
Si nona muda segera mereka lupakan. Terlalu banyak topik kesulitan sehari-hari yang bisa jadi bahan perbincangan. Kereta adalah kereta: alat transportasi, ruang sosial, bukan inhuman and degrading treatment namun suatu kewajaran buat mereka. Biasa saja, sudah untung ada kereta. Beda sudut pandang dengan si nona muda. Mereka tak tahu harga hari itu buat dia...
* 1.067 mm adalah lebar trak sempit yang digunakan pada jalur kereta Jakarta-Bogor, dibangun pada 1871-1873. Setiap harinya, lebih dari 400.000 orang melaksanakan rutinitas hariannya untuk bekerja dengan menggunakan moda transportasi ini.
No comments:
Post a Comment