*copied from duniaesai.com*
Bendera Indonesia, Merah Putih, sering diartikan "berani" dan "suci". Apakah ini pemaknaan budaya modern atau budaya
Indonesia promodern? Mengapa kini bangsa Indonesia memilih simbol merah dan putih sebagai jati diri? Mengapa
merah di atas dan putih di bawah, bukan sebaliknya? Dari mana simbol ini berasal?
Berbagai pertanyaan itu tak pernah diajukan orang sejak Mohammad Yamin menjelaskannya dalam buku yang tak pernah
dicetak ulang. 6000 Tahun Sang Saka Merah Putih, tahun 1958. Dijelaskan, warna merah simbol matahari dan warna
putih sebagai simbol bulan. Merah putih bermakna "zat hidup". Hanya tidak dijelaskan makna "zat hidup". Buku ini ingin
membuktikan, Merah Putih sudah menjadi simbol bangsa Indonesia sejak kedatangan mereka di kepulauan Nusantara
6.000 tahun lampau.
Makna merah-putih tidak cukup ditelusuri dari jejak arkeologi bahwa warna merah, putih, dan hitam dapat dijumpai pada
berbagai peninggalan prasejarah, candi, dan rumah adat. Artefak- artefak itu hanya ungkapan pikiran kolektif suku-suku di
Indonesia. Maka, arkeologi pikiran kolektif inilah yang harus digali dan masuk otoritas antropolo- gi-budaya atau
antropologi-seni. Alam pikiran semacam itu masih dapat dijumpai di lingkungan masyarakat adat sampai sekarang.
Warna merah, putih, hitam, kuning, dan campuran warna- warna itu banyak dijumpai pada ragam hias kain tenun, batik,
gerabah, anyaman, dan olesan pada tubuh, yang menunjukkan keterbatasan penggunaan warna- warna pada bangsa
Indonesia. Kaum orientalis menuduh bangsa ini buta warna di tengah alamnya yang kaya warna. Benarkah bangsa ini
buta warna? Atau bangsa ini lebih rohaniah dibandingkan dengan manusia modern yang lebih duniawi dengan pemujaan
aneka warna yang seolah tak terbatas?
Alam rohani dan duniawi
Alam rohani lebih esensi, lebih sederhana, lebih tunggal. Sedangkan alam duniawi lebih eksisten, kompleks, dan plural.
Bangsa Indonesia pramodern memandang hidup dari arah rohani daripada duniawi. Inilah sebabnya penggunaan simbol
warna lebih sederhana ke arah tunggal. Jika disebut buta warna, berarti buta duniawi, tetapi kaya rohani.
Berbagai perbedaan hanya dilihat esensinya pada perbedaan dasar, yakni laki-laki dan perempuan. Semua hal yang
dikenal manusia hanya dapat dikategorikan dalam dualisme-antagonistik, laki-perempuan. Matahari itu lelaki, bulan
perempuan. Dan puluhan ribu kategori lain.
Pemisahan "lelaki"-"perempuan" itu tidak baik karena akan impoten. Potensi atau "zat hidup" baru muncul jika
pasangan-pasangan dualistik itu diharmonikan, dikawinkan, ditunggalkan. Itu sebabnya tunggalnya merah dan putih
menjadi dwitunggal. Satu tetapi dua, dua tetapi tunggal. Dwitunggal merah-putih menjadi potensi, zat hidup.
Harmoni bukan sintesis. Sintesis merah-putih adalah merah jambu. Bendera Indonesia tetap Merah Putih, dwitunggal.
Dalam sintesis tidak diakui perbedaan karena yang dua lenyap menjadi satu. Bhinneka Tunggal Ika bukan berarti yang
plural menjadi satu entitas. Yang plural tetap plural, hanya ditunggalkan menjadi zat hidup. Sebuah kontradiksi, paradoks,
yang tidak logis menurut pikiran modern.
Dalam pikiran modern, Anda harus memilih merah atau putih atau merah jambu. Lelaki atau perempuan atau banci.
Dalam pikiran pramodern Indonesia, ketiganya diakui adanya, merah, putih, merah jambu. Merah jambu itulah Yang
Tunggal, paradoks, Zat Hidup, karena Yang Tunggal itu hakikatnya Paradoks. Jika semua ini berasal dari Yang Tunggal,
dan jika semua ini dualistik, Yang Tunggal mengandung kedua-duanya alias paradoks absolut yang tak terpahami
manusia. Tetapi itulah Zat Hidup yang memungkinkan segalanya ini ada.
Yang Tunggal itu metafisik, potensi, being. Yang Tunggal itu menjadikan Diri plural (becoming) dalam berbagai pasangan
dualistik. Inilah pikiran monistik dan emanasi, berseberangan dengan pikiran agama-agama samawi. Harus diingat,
merah-putih telah berusia 6.000 tahun, jauh sebelum agama-agama besar memasuki kepulauan ini. Warna merah, putih,
dan hitam ada di batu-batu prasejarah, candi, panji perang. Putih adalah simbol langit atau Dunia Atas, merah sim- bol
dunia manusia, dan hitam simbol Bumi atau Dunia Bawah. Warna-warna itu simbol kosmos, warna-warna tiga dunia.
Alam pikiran ini hanya muncul di masyarakat agraris. Obsesi mereka adalah tumbuhnya tanaman (padi, palawija) untuk
keperluan hidup manusia. Tanaman baru tumbuh jika ada harmoni antara langit dan bumi, antara hujan dan tanah. Antara
putih dan hitam sehingga muncul merah. Inilah yang menyebabkan masyarakat tani di Indonesia "buta warna".
Buta warna semacam itu ada kain-kain tenun, kain batik, perisai Asmat, hiasan rumah adat. Meski dasarnya triwarna putih,
merah, hitam, terjemahannya dapat beragam. Putih menjadi kuning. Hitam menjadi biru atau biru tua. Merah menjadi
coklat. Itulah warna-warna Indonesia.
Kehidupan dan kematian
Antropolog Australia, Penelope Graham, dalam penelitiannya di Flores Timur (1991) menemukan makna merah dan putih
agak lain. Warna merah dan putih dihubungkan dengan darah. Ungkapan mereka, "darah tidak sama", ada darah putih
dan darah merah. Darah putih manusia itu dingin dan darah merah panas. Darah putih itu zat hidup dan darah merah zat
mati. Darah putih manusia mendatangkan kehidupan baru, kelahiran. Darah merah mendatangkan kematian.
Darah putih yang tercurah dari lelaki dan perempuan menimbulkan kehidupan baru, tetapi darah merah yang tercurah dari
lelaki dan perempuan berarti kematian. Makna ini cenderung mengembalikan putih untuk perempuan dan merah untuk
lelaki, karena hanya kaum lelaki yang berperang. Mungkin inilah hubungan antara warna merah dan keberanian. Merah
adalah berani (membela kehidupan) dan putih adalah suci karena mengandung "zat hidup".
Mengapa merah di atas dan putih di bawah? Mengapa tidak dibalik? Bukankah merah itu alam manusia dan putih Dunia
Atas? Merah itu berani (mati) dan putih itu hidup? Merah itu lelaki dan putih perempuan? Merah matahari dan putih bulan?
Merah panas dan putih dingin? Artinya, langit-putih-perempuan mendukung manusia-merah-lelaki. Asal manusia itu dari
langit. Akar manusia di atas. Itulah sangkan-paran, asal dan akhir kehidupan. Beringin terbalik waringin sungsang. Isi
berasal dari Kosong. Imanen dari yang transenden. Merah berasal dari putih, lelaki berasal dari perempuan.
Jelas, Merah-Putih dari pemikiran primordial Indonesia. Merah-putih itu "zat hidup", potensi, daya-daya paradoksal yang
menyeimbangkan segala hal: impoten menjadi poten, tak berdaya menjadi penuh daya, tidak subur menjadi subur,
kekurangan menjadi kecukupan, sakit menjadi sembuh . Merah-putih adalah harapan keselamatan. Dia adalah daya-daya
sendiri, positif dan negatif menjadi tunggal.
Siapakah yang menentukan Merah-Putih sebagai simbol Indonesia? Apakah ia muncul dari bawah sadar kolektif bangsa?
Muncul secara intuisi dari kedalaman arkeotip bangsa? Kita tidak tahu, karena merah-putih diterima begitu saja sebagai
syarat bangsa modern untuk memiliki tanda kebangsaannya.
Merah-Putih adalah jiwa Indonesia.
Jakob Sumardjo Esais
Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0703/10/opini/3356745.htm