Siang ini saya duduk di rumah yang remang dan terasa sepi. Rumah sejati yang setahun lebih saya tak pernah nikmati, tergantikan dengan kehidupan kos-kosan sejak tiga tahun lalu.
Tidak cukup banyak yang berubah dari rumah yang saya tinggali tujuh belas tahun ini. Sebagian darinya tetap sama, dan sebagian yang telah berbeda bercerita. Anggrek kesayangan ayah sudah bertambah lebih dari seratus lima puluh pot di sekeliling rumah. Pohon nangka yang kami tanam tahun lalu sudah tinggi dan gagah. Anjing saya yang obesitas sudah tampak anoreksia. Beberapa lemari telah ditambahkan di dapur dan ruang makan, serta sebagian buku-buku saya telah berpindah rak. Bagian yang paling berbeda adalah dapur lama yang telah berubah fungsi separuhnya menjadi kamar dan separuhnya lorong menuju ruang makan. Ada cerita sedih dari kamar baru itu.
Semenjak Januari, Mbah saya tinggal di Jakarta bersama tante saya, dan sempat tercetus untuk memindahkannya ke Palembang karena tante saya sibuk sedangkan Ibu saya selalu ada di rumah kami yang dekat dengan rumah sakit. Ayah sengaja merubah dapur lama menjadi kamar untuk Mbah yang telah sakit-sakitan sekitar bulan April lalu. Ada dua tempat tidur di sana, mungkin satu untuk Mbah dan satu untuk suster perawatnya. Dindingnya dilapisi wallpaper biru muda; bukan kebiasaan ayah melapisi dinding dengan wallpaper, tapi mungkin untuk orang spesial seperti ibunya, disuguhkanlah yang tidak biasa. Kamar itu telah jadi seratus persen ketika pertengahan Juni keadaan Mbah memburuk sehingga terpaksa dirawat di Bekasi. Dan sebelum kamar itu sempat ditempati, berpulanglah Mbah ke pelukan yang maha kuasa. Sekarang kamar itu tetap kosong, dengan bantal guling yang bahkan belum dibuka dari plastiknya.
Rumah adalah sebuah kenangan yang hidup, dan memang benar ia menorehkan cerita. Saya tumbuh, bermain, terluka, tidur, dididik paling banyak di sini. Saya belajar berenang dan bermain air di bak mandi super besar di rumah ini. Saya jatuh dari tangga, dikurung di balkon, memanjat pohon, pagar, parabola, lemari, tembok, genteng, merawat binatang peliharaan dan menguburnya, menjamu teman atau pacar, bertengkar, berkebun, membakar sampah, jatuh ke parit, hujan-hujanan, meniti tepian balkon, semua di sini. Dan sekarang saya dan adik saya mulai pandang-pandangan memikirkan nasib rumah tersayang bertahun ke depan.
Siapa yang mau merawatnya?
Kami terlalu bebas merajut kehidupan kami sendiri-sendiri, mengejar mimpi masing-masing dan akhirnya pun akan punya rumah di tempat kami tinggal nantinya. Tapi kami ingin pulang kampung. Kami ingin seperti Ayah yang setiap Natal membawa kami ke desanya di Lampung yang masih punya sungai dan sawah, menceritakan setiap detail desanya sebagai cerita ekstra seru yang terpatri dalam ingatan kami sebagai bocah. Tapi kami tidak punya kehidupan seperti itu; rumah ini hanyalah sebuah hak milik individu yang melukiskan kenangan personal pula. Dan dua puteri ahli warisnya terlalu egois untuk melepaskan mimpinya, berpulang ke pelukan ayah bunda.
...
Jika memang dapat terjadi, semoga tulisan ini mengingatkan saya bahwa pernah ada cita-cita seorang gadis muda menjadikan rumahnya panti asuhan anak-anak cacat, atau tempat berkegiatan buat jompo-jompo yang kesepian. Apapun... Asal ia, rumah ini, tidak mati dan dapat terus bercerita...