Empati adalah salah satu yang hilang dari segenap perasaan kota. Bus kelas ekonomi, dengan segala kegaduhannya, adalah ajakan untuk kembali melihat yang nyata, berkomunikasi dengan yang hidupnya sederhana, sembunyi dari kehidupan glamor kota dan segala ketakperduliannya. Wanita ini telah menyihir atmosfer bus menjadi muram, dan setiap kursi melontarkan tanggapan yang menghibur, mengutuk, mengasihani, beda-beda dalam berbagai bahasa, tapi terdengar oleh saya dan ia.
Saya tak kenal wanita ini. Ia pembantu, majikannya menitipkan kepada saya. Polos. "Hanya mau pulang tepat waktu, saya sudah lama sekali tidak pulang..." itu katanya, namun diikuti cerocos panjang tentang semua yang bisa ia ceritakan. Semuanya tentang sesal. Tentang perihal pengunduran waktu yang tidak lagi bisa dikompromikan. Saat itulah mendengar jadi suatu yang mahal, suatu keadaan di mana yang asing menghibur yang asing dalam pemahaman kata yang tak selalu senada. Kami jauh. Ia dengan segala kepolosan desanya, dengan satu doktrin absolut tentang agama, tanpa cekokan bacaan tentang filsafat, tanpa menilik perdebatan dari jaman ke jaman mengapa manusia "ada" - dan saya, dengan kompleksitas secuil semuanya. Tapi ada perasaan yang sama, rasa takut kehilangan yang disayang, rasa bersalah belum memenuhi tuntutan seharusnya yang tak akan pernah cukup.
Maut punya pesonanya sendiri untuk memanggil kepedihan yang mewabah dan mengajak tiap insan bicara dengan dirinya sendiri. Tidak, kami tidak saling kenal. Sang ayah akhirnya meninggal di tengah kemacetan. Kami semua sudah bosan dengan histerisnya si wanita sepanjang dua puluh jam jebakan jalanan ini. Ia meratap. Pasrah menengok ke luar jendela, tatapan kosong itu, yang biasa ada di film-film patah hati. Kami menghibur sekedarnya, saya cuma bisa meminjamkan pelukan. Masih ada empat jam ke depan buat kami masing-masing terdiam, ikut larut dalam kepedihan. Diam-diam mata saya berair. Kembali mempertanyakan keberadaan.
No comments:
Post a Comment