Di hari itu, puasa adalah kontemplasi untuk menemukan Tuhan dalam lapar dan haus. Karena itu kami mendaki dengan berpuasa.
|
Pemandangan dari puncak Cikuray |
Sabtu, 20 Juli 2013
Pendakian melalui Pemancar
Margaretha Quina, Budi Susilo, Huda Robbani
Kami memilih gunung tangguh yang dari jauh tampak begitu galak dengan puncak curam menukik, Cikuray. Rutenya pendek, tapi kemiringan yang berkisar 60-80 derajat dengan medan tangga-tangga akar yang membuat dengkul bertemu dagu bukan perkara mudah. Sejak awal saya optimis kami akan sampai, hanya antisipasi terhadap sakit maag saya yang terbilang parah. Huda yang ternyata justru tidak yakin bahwa puasa hari itu akan tunai. Kami bertiga cepat dan kuat, dan dari sisi mental, Budi dan Huda adalah favorit saya. Tapi saya dan Budi masih sangat hijau dalam berpuasa: kedua kalinya bagi saya untuk berpuasa secara penuh, dan bahkan pertama kalinya untuk Budi. Maka, pertaruhan mental hari itu dimulai.
Pencarian akan perasaan lapar dan haus di hari itu kami buka dengan sahur di bus. Ada bias antara kontemplasi perasaan "memanusiakan diri" dengan gengsi dan hasrat akan pencapaian. Ketika saya bertemu orang dan bilang kami akan mendaki sambil puasa, tentu sedikit banyak saya sedang bersombong ria. Saya tidak tahu di hari itu saya memilih yang mana, mungkin keduanya, tapi saya tahu kalau maag saya kambuh di tengah jalur, kecil kemungkinan saya akan membatalkan puasa. Rasa sakit memiliki kenikmatannya sendiri, untuk membuat manusia menyadari kekecilan dan kelemahannya dan kemudian menyadarkan kita betapa "normal" adalah situasi yang bisa begitu mewah. Tapi yang paling utama, gengsi saya terlalu tinggi untuk menyerah pada diri sendiri.
Pos 1 sampai Pos 3 kami lalui dengan biasa saja, terbilang cepat meskipun saya sempat tidur di Pos 2. Kecepatan kami semakin memotivasi perjalanan, dan dengan istirahat yang kilat hanya di setiap pos, kami justru merasa semakin bugar. Tips ini terkadang juga baik diterapkan dalam trekking biasa: jangan minum sering & banyak. Selepas Pos 3, saya mulai harus mencari alternatif untuk melepas rasa haus. Udara adalah pengganti yang bisa dikompromikan untuk air, dan di saat seperti itu bernafas dalam-dalam adalah karunia yang mewah. Saya mengimajinasikan udara yang masuk ke epiglotis akan menguap menjadi air, dan otak saya untungnya bekerja sama untuk mengembalikan kesegaran badan hanya dengan sehirup dua hirup udara. Pos 6 ke Pos 7 merupakan cobaan yang lebih berat. Jarak yang ditempuh cukup panjang, 45 menit, ketika pos-pos lain tak ada yang lebih dari 30 menit. Saat itu otak yang tarik menarik meminta badan dimanjakan beristirahat makin sering kalah daya positifnya untuk terus berjalan. Belum lagi, saat itu hujan dan saya membawa payung. Hanya orang yang cari masalah yang membawa payung ke medan seterjal Cikuray, terutama ketika sebenarnya saya bertubuh pendek. Cukup emosional, tapi sejujurnya cobaan yang saya hadapi masih dalam level menengah ke bawah. Melihat lumut, rasanya mau saya renggut lalu memeras airnya ke tenggorokan, tapi sekilas lalu saja. Melihat hujan, saya sempat tengadah ingin mencuri teguk gerimis, tapi segera kehilangan berminat karena sulitnya. Lalu tanpa terasa, kami mencapai puncak Cikuray. Tidak sesulit yang dibayangkan. 3 jam 45 menit semenjak start.
Distraksi adalah poin yang berperan positif dalam puasa. Kami menghabiskan waktu di puncak, yang biasanya kami gunakan untuk makan dan minum, dengan mendistraksi diri untuk berfoto. Tidak ada orang, hanya kami bertiga. Maka kami mulai berfoto narsis. Selanjutnya kami langsung turun, yang ternyata cukup lama karena jalur yang terjal dan licin. Dulu, pertama kali saya dan Huda ke sini, kami berlari. Namun demi keamanan kali ini langkah harus kami lambatkan. Hampir 3 jam kemudian, kami sampai di bawah. Maag saya belum kambuh. Tapi saya haus. Mungkin tidak sehaus itu, tetapi saya biasa dimanjakan dengan minuman segar dan camilan enak setelah kami sampai ke bawah. Selebrasi. Perayaan kesuksesan bahwa satu gunung telah ditunaikan lagi dan bahwa kenikmatan dunia tidaklah jauh lagi. Sementara saat itu, semua akses pada kopi, air, gorengan, tersedia. Namun kami tidak bisa menjamahnya. Selebrasi kami hanya sebatas ucapan selamat dan tatapan bangga satu dengan yang lain. Apa daya, kami terlalu cepat, baru jam 3. Masih 3 jam lagi baru berbuka.
Yang tidak saya duga, justru dalam 3 jam terakhir itulah cobaan yang sesungguhnya. Gunung ternyata membuat kita lebih mudah menahan diri, karena fokus pada puncak dan pulang, serta ketiadaan pilihan. Meskipun kami punya air dan camilan di tas, tapi kami bisa tetap menyimpannya dalam tas dan menganggapnya tak ada. Tidak demikian dengan pedagang dan kota, yang dipadu dengan perasaan "kami habis mendaki dengan berpuasa dan sekarang harusnya waktu pesta pora" - semua terpampang di depan wajah kami untuk menggoda rasa lapar dan haus. Kami kekurangan distraksi dan selama satu jam terakhir bahkan saya hanya memelototi tukang es yang membungkuskan dagangannya buat pembeli.
Saat adzan berkumandang merupakan puncak kebahagiaan dan haru di hari itu. Air putih yang saya teguk terasa sebagai minuman paling enak di seluruh dunia, dan saya menikmati detik-detik di mana saya merasa begitu manusia. Sekilas, tapi perasaan itu begitu penting buat saya. Kami bertiga saling berbangga sambil melahap es khas Garut yang entah apa namanya segera membuat kami kenyang. Pertaruhan kami sampai di sini. Maag saya tidak kambuh dan permainan emosi ternyata tidak mencapai level tinggi. Kami senang. Dan hari itu, Tuhan memberi kesempatan buat kami menang.
"Di hari-hari ini saya berpuasa—dan apakah gerangan yang tumbuh dalam
diri saya? Sesuatu yang menghargai yang fana dan sebab itu berterima
kasih atas setiap momen empati? Atau sesuatu yang meminta dihormati,
karena aku adalah sebuah prestasi, sebuah posisi di atas sana, di mana
yang kekal dan sempurna mengangkatku?" - Caping: Goenawan Mohamad, 220809
No comments:
Post a Comment