Tuesday, July 23, 2013

Merasakan Pendakian: Gn. Cikuray, Garut


Di hari itu, puasa adalah kontemplasi untuk menemukan Tuhan dalam lapar dan haus. Karena itu kami mendaki dengan berpuasa.


Pemandangan dari puncak Cikuray

Sabtu, 20 Juli 2013
Pendakian melalui Pemancar
Margaretha Quina, Budi Susilo, Huda Robbani

Kami memilih gunung tangguh yang dari jauh tampak begitu galak dengan puncak curam menukik, Cikuray. Rutenya pendek, tapi kemiringan yang berkisar 60-80 derajat dengan medan tangga-tangga akar yang membuat dengkul bertemu dagu bukan perkara mudah. Sejak awal saya optimis kami akan sampai, hanya antisipasi terhadap sakit maag saya yang terbilang parah. Huda yang ternyata justru tidak yakin bahwa puasa hari itu akan tunai. Kami bertiga cepat dan kuat, dan dari sisi mental, Budi dan Huda adalah favorit saya. Tapi saya dan Budi masih sangat hijau dalam berpuasa: kedua kalinya bagi saya untuk berpuasa secara penuh, dan bahkan pertama kalinya untuk Budi. Maka, pertaruhan mental hari itu dimulai.

Pencarian akan perasaan lapar dan haus di hari itu kami buka dengan sahur di bus. Ada bias antara kontemplasi perasaan "memanusiakan diri" dengan gengsi dan hasrat akan pencapaian. Ketika saya bertemu orang dan bilang kami akan mendaki sambil puasa, tentu sedikit banyak saya sedang bersombong ria. Saya tidak tahu di hari itu saya memilih yang mana, mungkin keduanya, tapi saya tahu kalau maag saya kambuh di tengah jalur, kecil kemungkinan saya akan membatalkan puasa. Rasa sakit memiliki kenikmatannya sendiri, untuk membuat manusia menyadari kekecilan dan kelemahannya dan kemudian menyadarkan kita betapa "normal" adalah situasi yang bisa begitu mewah. Tapi yang paling utama, gengsi saya terlalu tinggi untuk menyerah pada diri sendiri.

Pos 1 sampai Pos 3 kami lalui dengan biasa saja, terbilang cepat meskipun saya sempat tidur di Pos 2. Kecepatan kami semakin memotivasi perjalanan, dan dengan istirahat yang kilat hanya di setiap pos, kami justru merasa semakin bugar. Tips ini terkadang juga baik diterapkan dalam trekking biasa: jangan minum sering & banyak. Selepas Pos 3, saya mulai harus mencari alternatif untuk melepas rasa haus. Udara adalah pengganti yang bisa dikompromikan untuk air, dan di saat seperti itu bernafas dalam-dalam adalah karunia yang mewah. Saya mengimajinasikan udara yang masuk ke epiglotis akan menguap menjadi air, dan otak saya untungnya bekerja sama untuk mengembalikan kesegaran badan hanya dengan sehirup dua hirup udara. Pos 6 ke Pos 7 merupakan cobaan yang lebih berat. Jarak yang ditempuh cukup panjang, 45 menit, ketika pos-pos lain tak ada yang lebih dari 30 menit. Saat itu otak yang tarik menarik meminta badan dimanjakan beristirahat makin sering kalah daya positifnya untuk terus berjalan. Belum lagi, saat itu hujan dan saya membawa payung. Hanya orang yang cari masalah yang membawa payung ke medan seterjal Cikuray, terutama ketika sebenarnya saya bertubuh pendek. Cukup emosional, tapi sejujurnya cobaan yang saya hadapi masih dalam level menengah ke bawah. Melihat lumut, rasanya mau saya renggut lalu memeras airnya ke tenggorokan, tapi sekilas lalu saja. Melihat hujan, saya sempat tengadah ingin mencuri teguk gerimis, tapi segera kehilangan berminat karena sulitnya. Lalu tanpa terasa, kami mencapai puncak Cikuray. Tidak sesulit yang dibayangkan. 3 jam 45 menit semenjak start.

Distraksi adalah poin yang berperan positif dalam puasa. Kami menghabiskan waktu di puncak, yang biasanya kami gunakan untuk makan dan minum, dengan mendistraksi diri untuk berfoto. Tidak ada orang, hanya kami bertiga. Maka kami mulai berfoto narsis. Selanjutnya kami langsung turun, yang ternyata cukup lama karena jalur yang terjal dan licin. Dulu, pertama kali saya dan Huda ke sini, kami berlari. Namun demi keamanan kali ini langkah harus kami lambatkan. Hampir 3 jam kemudian, kami sampai di bawah. Maag saya belum kambuh. Tapi saya haus. Mungkin tidak sehaus itu, tetapi saya biasa dimanjakan dengan minuman segar dan camilan enak setelah kami sampai ke bawah. Selebrasi. Perayaan kesuksesan bahwa satu gunung telah ditunaikan lagi dan bahwa kenikmatan dunia tidaklah jauh lagi. Sementara saat itu, semua akses pada kopi, air, gorengan, tersedia. Namun kami tidak bisa menjamahnya. Selebrasi kami hanya sebatas ucapan selamat dan tatapan bangga satu dengan yang lain. Apa daya, kami terlalu cepat, baru jam 3. Masih 3 jam lagi baru berbuka.

Yang tidak saya duga, justru dalam 3 jam terakhir itulah cobaan yang sesungguhnya. Gunung ternyata membuat kita lebih mudah menahan diri, karena fokus pada puncak dan pulang, serta ketiadaan pilihan. Meskipun kami punya air dan camilan di tas, tapi kami bisa tetap menyimpannya dalam tas dan menganggapnya tak ada. Tidak demikian dengan pedagang dan kota, yang dipadu dengan perasaan "kami habis mendaki dengan berpuasa dan sekarang harusnya waktu pesta pora" - semua terpampang di depan wajah kami untuk menggoda rasa lapar dan haus. Kami kekurangan distraksi dan selama satu jam terakhir bahkan saya hanya memelototi tukang es yang membungkuskan dagangannya buat pembeli.

Saat adzan berkumandang merupakan puncak kebahagiaan dan haru di hari itu. Air putih yang saya teguk terasa sebagai minuman paling enak di seluruh dunia, dan saya menikmati detik-detik di mana saya merasa begitu manusia. Sekilas, tapi perasaan itu begitu penting buat saya. Kami bertiga saling berbangga sambil melahap es khas Garut yang entah apa namanya segera membuat kami kenyang. Pertaruhan kami sampai di sini. Maag saya tidak kambuh dan permainan emosi ternyata tidak mencapai level tinggi. Kami senang. Dan hari itu, Tuhan memberi kesempatan buat kami menang.


"Di hari-hari ini saya berpuasa—dan apakah gerangan yang tumbuh dalam diri saya? Sesuatu yang menghargai yang fana dan sebab itu berterima kasih atas setiap momen empati? Atau sesuatu yang meminta dihormati, karena aku adalah sebuah prestasi, sebuah posisi di atas sana, di mana yang kekal dan sempurna mengangkatku?" - Caping: Goenawan Mohamad, 220809

ramdom things love me

ser·en·dip·i·ty [ser-uhn-dip-i-tee], noun 
1. an aptitude for making desirable discoveries by accident.
2. good fortune; luck: the serendipity of getting the first job she applied for.
Origin: 1754; Serendip + ity; Horace Walpole so named a faculty possessed by the heroes of a fairy tale called The Three Princes of Serendip


Too many of them, sometimes I take note of them so I can recall when I need some fresh supply of funny things, but most of them dissapear with my unreliable short-term memory.

So I take notes to some random events occuring these days.

Yesterday I walked home from my office. I tried vasting that day (my first time for a serious, full time vasting and I succeed yeaaay!) and planned to have another one the day after. It was midnight and I was eagerly searching for some meal for sahur, so when I saw a man at the park who's sitting behind some sort of various thing, I walked approaching him. As my eyes can't see clear (I have a minus one miopi), from some metres I started to greet him and asked him happily (and seriously) whether he sell foods. As I reached him, I just realized that he didn't sell food. Scary, that skinny bald man was surrounded with papers and things I couldn't recognize and calmly burned something. For seconds I feel so awkward and I smiled and him to say sorry, and walked away from under his strange stare. Minutes before I, Pandji, my bestfriend, just sent me a voice note record of him playing a horror composition in piano, and tell me to "imagine something hollow but sacred" - and by then me, who didn't have any idea that I will meet such a strange man, didn't have to imagine again. It came to me in reality. Haha.

And just a day after, I replied a tweet of National Geographic and they retweeted me. I got many retweets then, but one of the account who retweeted stole my attention. His name was "Pandu Ngehe". Pandu is Pandji's father and ngehe means "have sex". I let Pandji knows. Not everyday your father's having sex name might find you from a random tweet.

Minutes after, I got another tweet. Someone sitting next to me while I had iBT saw the NatGeo retweet and hit to my account. She mentioned that and say hi. We didn't even exchange name, and really, social media is not for conversation with stranger for me. That's a low-level randomness. Another retweeter who follow me then, turned out to be a friend of my band's additional sax.

Now I'm waiting for my dentist to take care of my teeth. No idea whether random things will also happen to me in such a serious circumstances, but sometimes yes. But noticing random things happen to you can make you 10x more excited, happier, more grateful. So people, be happy with small things! Good day!

The randomness continues

This post should've been finished by the previous sentence. But the randomess still entails me. The following day I hiked mount Cikuray with Budi and Huda, and we arrived at Garut by dawn. We met two people who said they would go to Papandayan while we're about to buy some drink for sahur. Brago and Titis, a friend of ours, was hiking Papandayan too so we let them know about that. That evening, we finished Cikuray and waited for Brago and Titis at Garut, while in turn I got the message from Brago saying they were lost at the hutan mati and we lost contact. We told the ranger to let us know if they're found. The next morning he sent a message, saying they're okay, and how did they get the right way back? This randomness again, they met the two strangers who met us while we're looking for sahur that morning, and they told Titis and Brago that they met us.

Even on the following day of lost and found accident, random thing still occur. I'm observing that this starts to be too much and wonder whether it's me or this universe. But anyway, it happened a lot to me. Maybe just, random things love me :)

Wednesday, July 10, 2013

Gunung Guntur (2.249 mdpl)

6 - 7 Juli 2013;
Margaretha Quina, Fallissa A. Putri, Arif W. Brago, Willem Tansian, & Rekamount Team;
Pendakian melalui Jalur Citiis.

Pemandangan dari Puncak Gn. Guntur

TRANSPORTASI
  • Dari terminal Kampung Rambutan, Jakarta, naik bus menuju Garut (Prima Jasa Rp 42.000,00). Terdapat banyak pilihan dan bus tersedia sampai dengan tengah malam (lebih kurang hingga jam 1 subuh)
  • Pilihan pertama, berhenti di alun-alun Tarogong, lalu langsung menumpang truk pasir (gratis / berikan uang rokok saja). Seringkali di pagi hari truk pasir ini melewati seberang alun-alun Tarogong ke arah Citiis. Mereka cukup terbiasa memberikan tumpangan kepada para pendaki hingga spot penambangan pasir yang dekat jalur menuju Citiis. Cukup katakan kepada supir truk untuk menurunkan di dekat jalur pendakian.
  • Pilihan kedua, berhenti di Terminal Guntur, Garut. Kemudian lanjutkan dengan angkot ke Cipanas, turun di gerbang Kampung Citiis (Rp 5.000,00). Kemudian lanjutkan dengan truk pasir seperti pada pilihan pertama.

PENGINAPAN

Terdapat banyak penginapan di Cipanas, salah satu yang pernah dicoba penulis adalah Lugina (Rp 100.000,00/malam), dengan kamar double bed yang dapat diisi hingga 4 orang, dilengkapi kipas angin, kamar mandi dengan bak air panas, serta teras yang cukup luas. Losmen yang cukup terkenal ini terletak di dekat pemberhentian akhir angkot Cipanas, di sebuah gang di sebelah kiri jalan. Untuk pilihan lain dapat melihat Daftar Pengingapan di Website Resmi Pemkab Garut

BASECAMP & PENDAFTARAN

Pendakian Gn. Guntur belum terkelola dengan baik, tidak ada basecamp yang secara khusus dikelola untuk pendaki. Perizinan disarankan, akan tetapi masih atas dasar kesadaran pendaki. Pendaftaran dilakukan di rumah Ibu RW (Ibu Tati), yaitu rumah terakhir yang dijumpai sebelum masuk ke penambangan pasir. Rumah ini cukup mudah dikenali karena merupakan satu-satunya rumah dengan warung. Jika melakukan pendaftaran, maka harus melakukan konfirmasi kepulangan setelah turun.

Sampah merupakan isu di penambangan pasir Gn. Guntur, sekaligus penanda "pintu masuk"

JALUR PENDAKIAN CITIIS

Tidak ada penanda khusus dalam jalur ini. Secara umum, bentang alam yang dapat dijadikan patokan meliputi:
  • Tambang Pasir
  • Curug Citiis*)
  • Bebatuan curam*)
  • Sabana
  • Puncak Bohong
  • Puncak 1 dan Puncak 2

Tambang Pasir - Curug Citiis

Waktu tempuh: + 30 menit - 1,5 jam

Pintu masuk menuju jalur pendakian berada di sebelah kanan di dekat tebing penambangan pasir, ditandai dengan pohon dengan banyak pita-pita pink bergelantungan. Jalan setapak cukup jelas terlihat. Ikuti saja jalan tersebut menuju hutan hingga menemui sungai. Setelah melewati sebuah dam kecil, jika ingin langsung menuju Sabana, maka ikuti jalan setapak ke arah kiri.**) Jika ingin melewati jalan hutan dan melewati Curug Citiis, maka seberangi sungai dan ambil jalan setapak ke arah kanan.

Untuk jalan ke arah Curug Citiis, medannya merupakan jalan tanah yang tidak terlalu menanjak dengan hutan yang cukup rindang di sebelah kanan dan sungai di sebelah kiri. Jalur cukup jelas, dan sesampainya di curug, akan terlihat sebuah shelter yang dapat dipakai sebagai landmark. Curug Citiis meruipakan sumber air terakhir di Gn. Guntur.

Curug Citiis - Bebatuan Curam - Sabana

Waktu tempuh: 1 jam - 2 jam

Dari shelter, seberangi sungai dan akan tampak sebuah batu besar. Dari spot ini, jalur ke atas selama sekitar 1 jam berupa bebatuan curam yang cukup terbuka. Suara sungai masih akan tetap terdengar dan terkadang sungai masih dapat terlihat di sisi kanan. Penghujung bebatuan curam ditandai dengan sebuah tanah lapang yang cukup untuk sekitar 2 tenda, yang merupakan penanda bahwa medan pendakian akan segera menjadi sabana terbuka setelah melewati beberapa menit medan perpaduan sabana dan rerimbunan. Dari situ, jalur masih cukup jelas dan tidak terdapat percabangan-percabangan yang fatal. 

Sabana - Puncak Bohong

Waktu tempuh: 2 jam - 4 jam

Ikuti jalur ke arah Sabana, di awal-awal jalur selepas rerimbunan padang ilalang cukup tinggi. Akan tampak bekas lava yang cukup besar dan jalur dari bebatuan mengarah pada lava beku tersebut. Terdapat jalur menurun dari dinding lava dan kemudian naik lagi ke atas, ikuti jalur tersebut sehingga bekas lava akan berada di sebelah kanan. Jalur yang akan ditemui cukup jelas, berkerikil tipis, dengan beberapa lava beku yang masih dapat di awal-awal jalur. Terdapat beberapa pohon pinus di kanan kiri jalur, dan dari sini tambang pasir di bawah maupun puncak bohong di atas tampak jelas. Dari jalur ini, tampak jalur paralel lain yang berdekatan dan juga mengarah ke puncak. Terkadang, terdapat pijakan alternatif pada ilalang yang dapat mempermudah pendaki untuk naik dan turun dibandingkan jalur kerikil yang licin. Puncak yang tampak dari jalur ini dinamakan Puncak Bohong, yang ditandai dengan sebuah batu besar yang dikenal sebagai Batu Bohong.

Pemandangan dari jalur Sabana menuju Puncak Bohong
Puncak sejati (Puncak 2) Gn. Guntur

Puncak Bohong - Puncak 1 - Puncak 2

Waktu tempuh: + 30 menit - 1,5 jam

Dari Puncak Bohong, jalur menuju puncak sejati relatif lebih mudah dan lebih landai. Puncak 2, yang merupakan puncak sejati ditandai dengan tanah lapang dengan bendera Merah Putih (tentative), serta terdapat batuan semen persegi panjang kira-kira setinggi lutut. Terdapat 2 alternatif: 

Alternatif 1 yaitu dengan mengikuti jalur ke arah kanan tanpa melewati Puncak 1. Jalur ini awalnya landai, dan kemudian akan langsung nampak Puncak 2 dengan melewati jalur berkerikil.

Alternatif 2 mengikuti jalur ke arah Puncak 1 yang tampak dari Puncak Bohong. Terdapat jalur yang cukup jelas, yang kemudian menuruni punggungan Puncak 1 lalu mendaki tanpa jalur hingga ke Puncak 2 yang tampak cukup jelas. Dari awal punggungan Puncak 2, ikuti jalur ke arah kanan. Pijakan relatif lebih stabil dan jalur lebih pendek. Jika sedang berkabut, sebaiknya jangan mengambil jalur ini.

[keterangan tambahan]
  • Lihat juga tulisan di blog Mount In Black mengenai Pendakian Guntur. Cukup informatif dan tidak bertele-tele;
  • Foto-foto Gn. Guntur di Facebook penulis pada pendakian ini (foto-foto diambil pada Juli 2013 oleh Arif W. Brago)
  • Di seberang puncak sejati (Puncak 2) Gn. Guntur, terdapat puncak Masigit, yang dapat ditempuh selama 15 - 45 menit perjalanan.

[lesson learn]

Sekalipun cukup mudah bagi pendaki yang cukup berpengalaman, Gn. Guntur bukan merupakan gunung yang "semudah itu" jika ingin membawa pendaki perdana. Kerikil tipis disertai medan yang kemiringannya berkisar 40 - 75 derajat dengan panas yang menyengat merupakan tantangan tersendiri terutama dalam perjalanan turun. Salah satu peserta dalam pendakian kali ini bahkan menangis beberapa kali dikarenakan medan yang sangat curam dan licin, sehingga secara psikologis "menakutkan" dan memberikan sugesti tergelinding. Peserta lainnya tergelinding secara ekstrim (hingga terdapat pose kaki di atas kepala) 2 kali. Pendakian "tektok" (mendaki dan turun dalam sehari) hanya disarankan bagi pendaki yang sudah teruji kecepatan dan konsistensi waktunya.

Note:
*) Terdapat jalur alternatif yang langsung ke Sabana tanpa melewati Curug Citiis dan bebatuan curam. 
**) Jika mengambil jalur ke kiri, maka pendakian akan langsung menuju sabana melalui jalur tanah berkerikil tipis yang cukup licin. Di awal-awal, terdapat beberapa batuan berundak-undak yang cukup mempermudah. Jalur ini langsung menuju ke arah sabana (see: Sabana - Puncak Bohong) dan lebih pendek dibandingakan melewati Curug Citiis, akan tetapi cukup sulit dikarenakan medan kerikil yang licin dan sabana terbuka yang panas